Al-Jilli seorang tokoh sufi yang riwayat hidupnya tidak banyak diketahui secara pasti. Al-Jilli membawa teori tajalli dan taraqqi dalam proses munculnya insan kamil. Menurut al-Jilli, seseorang yang menyandang insan kamil sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibnu Arabi adalah manusia yang telah mencapai perkembangan spiritual tingkat tinggi dan secara sempurna mencerminkan citra Tuhan. Dan secara etimologi, kata insan kamil berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari dua kaimat al-insan dan al-kamil. Kata insan dipandang berasal dari turunan suatu kata, misalnya saja uns yang artinya cinta. Kata insan dipandang dari turunan beberapa kata nas yang artinya pelupa, karena manusia sendiri secara historis berasal dari suatu lupa dan akan berakhir dengan lupa. Ada juga yang berpendapat bahwa itu berasal dari ain san yang artinya seperti mata.
A. Biografi Singkat
Nama al-Jilli cukup dikenal dalam kalangan peminat dan peneliti tasawuf, tetapi riwayat hidupnya yang menyangkut tahun kelahiran, pendidikan dan peranannya dalam masyarakat, sangat sedikit yang diketahui dalam masyarakat, sangat sedikit yang diketahui. Hal itu disebabkan al-Jilli sendiri tidak meninggalkan catatan yang menceritakan tentang dirinya dan murid-muridnya pun tidak ada yang menulis tentang kehidupannya. Kendati demikian, kehidupan al-Jilli tidak seluruhnya berada dalam kegelapan, karena dalam beberapa tulisannya ia melengkapi uraian dengan mencantumkan tempat dan tahun keberadaannya.
Nama lengkapnya ialah Abdul Karim ibn Ibrahim bin Abd al-Karim bin Khalifah ibn Ahmad ibn Mahmud al-Jilli. Ia mendapatkan gelar kehormatan Syekh yang bisa dipakai di awal namanya. Selain itu ia juga mendapat gelar Quthb al-Din (kutub/poros agama); suatu gelar tertinggi dalam hirarki sufi. Namanya dinisbatkan dengan al-Jilli karena ia berasal dari Jilan. Akan tetapi Goldziher mengatakan penisbatan itu bukan pada Jilan, tetapi pada sebuah desa dalam distrik Baghdad “Jil”.[1]
Ia lahir pada awal Muharram (767 H/1365 M) di kota Baghdad, dengan alasan bahwa menurut pengakuan sendiri ia adalah keturunan Syekh Abdul Qadir Jailani berdomisili di Baghdad sejak tahun 478 H. Sampai akhir hayatnya tahun 561 H. Dan diduga keturunannya juga berdomisili di Baghdad termasuk kedua orang tua al-Jilli. Namun setelah ada penyerbuatn militeristik bangsa Mongol ke Baghdad yang dipimpin Timur Lenk, keluarga al-Jilli bermigran ke kota Yaman (kota Zabid). Di kota inilah al-Jilli mendapatkan pendidikan yang memadai sejak dini. Dalam catatannya, ia menyebutkan bahwa pada tahun 779 H, ia pernah mengikuti pelajaran dari Syekh Syaraf al-Din Ismail ibn Ibrahim al-Jabarti (w. 806 H). Pada tahun 790 H, ia berada di Kusyi , India untuk mendalami kesufiannya. Sebelum sampai ke India , ia berhenti di Persia dan mempelajari bahasa Parsi. 4 tahun kemudian ia berkunjung ke kota Kairo, dan di sana ia sempat belajar di Universitas al-Azhar dan bertemu banyak teolog, filusuf, dan sufi. Dan ia belajar tasawuf di bawah bimbingan Abdul Qadir al-Jailani. Seorang pendiri dan pemimpin tarekat Qodariyah yang sangat terkenal, di samping itu ia juga berguru pada Syekh Syarafudin Ismail bin Ibrahim al-Jabarti di Zabid (Yaman) pada tahun 1393-1403 M.[2]
B. Pemikiran al-Jilli
Ajaran tasawuf al-Jilli yang terpenting adalah paham insan kamil (manusia sempurna). Menurut al-Jilli, insan kamil adalah nuskhah atau copy Tuhan, seperti disebutkan dalam hadits yang artinya:
“Allah menciptakan Adam dalam bentuk Maha Rahman”.[3]
Tuhan memiliki sifat-sifat seperti Hidup, Pandai, Mampu Berkehendak, Mendengar dan lain-lain. Manusia (Adam) pun memiliki sifat-sifat seperti itu. Proses yang terjadi selanjutnya setelah Tuhan menciptakan substansi, Huwiyah Tuhan dihadapkan dengan Adam, Aniyah-Nya dihadapkan dengan aniyah Adam dan Dzat-Nya dihadapkan pada dzat Adam dan akhirnya Adam berhadapan dengan Tuhan dalam segala hakikatnya. Melalui konsep ini dapat dipahami bahwa Adam dilihat dari sisi penciptaannya merupakan salah seorang insan kamil dengan segala kesempurnaannya.
Al-Jilli berpendapat bahwa nama dan sifat Ilahiah pada dasarnya merupakan milik insan kamil sebagai suatu kemestian yang inheren dengan esensinya. Hal itu karena sifat dan nama tersebut tidak memiliki tempat terwujud melainkan insan kamil. Al-Jilli mengemukakan bahwa perumpamaan hubungan Tuhan dengan insan kamil bagaikan cermin, seseorang tidak dapat melihat dirinya kecuali melalui cermin itu. Demikian pula dengan insan kamil. Ia tidak dapat melihat dirinya kecuali melalui cermin nama Tuhan. Sebagaimana Tuhan tidak dapat melihat diri-Nya kecuali melalui cermin insan kamil.[4]
Dengan demikian,dari sudut pandang manusia, Tuhan merupakan cermin bagi manusia untuk melihat dirinya. Tanpa cermin itu sebaliknya, karena Tuhan yang mengharuskan dirinya agar semua sifat dan namanya tidak dilihat maka Tuhan menciptakan insan kamil sebagai cermin bagi diri-Nya. Dari sini tampaklah hubungan Tuhan dengan insan kamil.
Lebih lanjut Al-Jilli berkata bahwa duplikasi alkamal ( kesempurnaaan ) adalah sama , semua dimiliki oleh manusia , bagaikan cermin yang sal;ing berhadapan .Ketidak sempurnaan manusia disebabkan oleh hal hal yang bersifat ardhi ,termasuk manusia yang berada dalam kandungan ibunya .Alkamal dalam konsep Al-jilli mungkin dimiliki oleh manusia secara rasional dan mungkin pula secara actual, seperti yang terdapat dalam para wali dan nabi meskipun dalam identitas yang berbeda .Imtensitas Alkalam yang paling tinggi terdapat dalam diri Muhammad SAW.Sehingga manusia lain ,baik nabi ataupun wali-wali bila dibandingkan dengan Muhammad bagaikan Al-kamil ( yang paling sempurna ) dengan Al-akmal (yang paling sempurna atau Al-fadil( yang utama)dan Al-afdal (yang paling utama). [5]
Menurut al-Jilli, insan kamil merupakan proses tempat beredarnya segala yang wujud (aflaq al-wujud) dari awal hingga akhir. Ia adalah satu sejak wujud untuk selamanya. Ia dapat muncul dan menampakkan dirinya dalam berbagai macam. Ia diberi nama dengan nama yang tidak diberikan orang lain, nama aslinya adalah Muhammad, nama kehormatannya Abu al-Qasim dan gelarnya Syamsu ad-Din.
A.J. Berry menguraikan secara singkat ajaran tasawwuf Aljilli.Bahwasanya ia Ia melacak asal usul wujud sejati yang tak bernama dan tidak bersifat , melalui 3 tahap yang diserbutnya ahadiayah huwiyah dan aniyah.Manusia pada hakikatmyta berpikir kosmik dan mempertalikan wujud ,mutlaq dengan alam materi .Melalui tiga tahap yang bersesuaian dengan dari penerangan mistik (tajalli),sang mistikus dapat brharap bisa menelusuri kembali asal usulnya, dan akhirnya dengan menjadi al-insan al-kamil bersih dari segala sifat, kembali lagi terhadap mutlaq dari yang mutlaq.[6]
Berkaitan dengan insan kamil, al-Jilli merumuskan beberapa maqam yang harus dilalui seorang sufi. Dalam istilahnya, maqam itu disebut al-martabah (jenjang) atau tingkatan. Martabah-martabah itu adalah:
1. Islam. Yang didasarkan pada lima pokok atau rukun dalam pemahaman kaum sufi tidak hanya dilakukan secara ritual, tetapi harus dipahami dan dirasakan lebih dalam.
2. Iman. Yakni membenarkan dengan sepenuh keyakinan akan rukun iman dalam melaksanakan dasar-dasar Islam. iman merupakan tangga pertama untuk mengungkap tabir alam ghaib dan alat yang membantu seseorang mencapai tingkat atau maqam yang lebih tinggi.
3. Ash-Shalah. Pada maqam ini seorang sufi mencapai tingkatan ibadah yang terus menerus kepada Allah dengan perasaan khauf dan rajak.[7]
4. Ihsan. Maqam ini menunjukkan bahwa seorang sufi mencapai tingkat menyaksikan efek (atsar) nama dan sifat Tuhan. Sehingga dalam ibadahnya merasa seakan-akan berada di hadapan-Nya. [8]
5. Syahadah. Pada maqam ini seorang sufi telah mencapai iradah yang bercirikan mahabbah kepada Tuhan tanpa pamrih.[9]
6. Shiddiqiyah. Istilah ini menggambarkan tingkat pencapaian ma'rifat dan ilmu al-yakin, ain al-yaqin, dan haq al-yakin.
7. Qurbah. Maqam yang memungkinkan seorang sufi dapat menampakkan diri dalam sifat dan nama yang mendekati sifat dan nama Tuhan.[10]
C. Corak-corak Pemikiran
Menurut makalah yang saya sudah saya susun ini. Corak pemikiran al-Jilli yaitu corak pemikiran falsafi, sama halnya dengan Ibn Arabi, Ibn Sab’in dan Ibn Massarrah. Karena ajaran Al-jilli samar samar akibat banyaknya istilah khusus yang hanya dapat dipahami oleh orang orang tertentu yakni mereka yang memahami ajaran tasawwuf jenis ini.Dan karena ajarannya memadukan antara cisi mistis dan visi rasional pengasasnya. Selain itu ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional .Kajiannya dengan jalan esoteric dalam islam untuk mengembangkan kesucian batin yang kaya dengan pandangan pandangan filosofis .Tasawwuf falsafi ini bagai sungai yang airnya demikian jwernih, bening dengan begitu menggoda untuk direnangi.[11]
Al-Jilli mengemukakan bahwa perumpamaan hubungan Tuhan dengan insan kamil bagaikan cermin, seseorang tidak dapat melihat dirinya kecuali melalui cermin itu. Demikian pula dengan insan kamil. Ia tidak dapat melihat dirinya kecuali melalui cermin nama Tuhan. Sebagaimana Tuhan tidak dapat melihat diri-Nya kecuali melalui cermin insan kamil.
D. Karya-karya al-Jilli
Sebagaimana riwayat hidupnya, karya-karya al-Jilli pun tidak banyak diketahui secara pasti, sehingga kita bisa memperkirakan jumlah yang tepat dalam hasil karyanya itu. Iqbal mengatakan bahwa karya al-Jilli tidak sebanyak karya Ibn Arabi. Iqbal hanya menyebutkan tiga dari kitab-kitabnya. Yaitu suatu ulasan atas karya Ibn Araby, al-Futuhal al-Makkiyah, suatu komentar atas basmalah dan karyanya yang terkenal al-Insan al-Kamil.
- Al-Insan al-Kamil fi Makrifat – al-Awakhir wa al-Awail.
- Al-Durrah al-Layyinah fi al-Syawahid al-Ghaibiyah.
- Al-Kahfi wa al-Raqim fi Syarh bi Ismi Allah al-Rahman al-Rahim
- Lawami al-Barq
- Maratib al-Wujud
- al-Namus al-Aqdam[12]
Dan ada pula yang berpendapat bahwasanya karya Al-jilli cukup banyak antara lain: Aqidah Al-Akabir Al-Muqtabahsahmin, Arbaun Mautinan , Bahr Al-Hudus waalqidam wa mauj alwujudwaala’damdan yang terakhir Al0insan Al-kamil.Disamping 4 komentar diatas ,terdapat pula 4 komentar (syarah)atas karya Al-jilli tersebut antara lain:
1. Mudhihat al-hal fi Sa’ad Masmuad ad-Dajjal
2. Kassf Albayan ‘ an asror
3. Syarb Ali Zadah
4. SAyarh Syeikh Ali ibnu hijazi
5. Al-Kahf wa Arraqim
6. Marotib Al-wujud wa hakikat Alqul maujud
7. Al-Isfar ‘an ar-Risalah Al-Anwar fima yatajaddala li Ahli azdikri min Asror li alsyiekh al-akbar
8. Al-Marqam fi sir at-Tauhid al-majhul wa al-maklum.
9. Haqiqah al-haqaiq
10. Guniyah arbab as-sama’ fi kasyfi al-ghina
11. Haqiqah Al-yakin wa Zulfah al-Tamkin
12. Al-Manazir al-hilahiyah [13]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Abdul Karim ibn Ibrahim al-Jilli lahir pada awal Muharram (767 H/1365-6 M) di kota Baghdad . Ia adalah keturunan Abdul Qadir al-Jailani (470-561 H). Ia mendapatkan gelar kehormatan Syaikh, yang biasa dipakai di awal namanya. Selain itu ia juga mendapat gelar Quthb al-Din, suatu gelar tertinggi dalam hirarki sufi. Beliau wafat pada tahun 561 H.
Al-Jilli berpendapat bahwa nama dan sifat Ilahiah pada dasarnya merupakan milik insan kamil sebagai suatu kemestian yang inheren dengan esensinya. Hal itu karena sifat dan nama tersebut tidak memiliki tempat terwujud melainkan insan kamil. Al-Jilli mengemukakan bahwa perumpamaan hubungan Tuhan dengan insan kamil bagaikan cermin, seseorang tidak dapat melihat dirinya kecuali melalui cermin itu. Demikian pula dengan insan kamil. Ia tidak dapat melihat dirinya kecuali melalui cermin nama Tuhan. Sebagaimana Tuhan tidak dapat melihat diri-Nya kecuali melalui cermin insan kamil.
Corak pemikiran al-Jilli termasuk falsafi. Ajarannya yang samar-samar akibatnya banyak istilah yang khusus yang hanya dapat dipahami oleh mereka yang memahami ajaran tasawuf jenis ini. Sedangkan karya al-Jilli tidak banyak diketahui secara pasti.
Iqbal mengatakan bahwa karya al-Jilli terdiri dari 3 kitab yaitu suatu ulasan atas karya Ibn Arabi, al-Futuhat al-Makkiyah, suatu komentar atas basmalah dan karyanya yang terkenal al-Insan al-Kamil. Sedangkan menurut penelitian Hj. Khalifah terdapat 29 karya al-Jilli, tetapi yang dikemukakan di sini hanya terdapat 6 karya: 1) Al-Insan al-Kamil fi Makrifat – al-Awakhir wa al-Awail. 2) Al-Durrah al-Layyinah fi al-Syawahid al-Ghaibiyah. 3) Al-Kahfi wa al-Raqim fi Syarh bi Ismi Allah al-Rahman al-Rahim. 4) Lawami al-Barq. 5) Maratib al-Wujud. 6) al-Namus al-Aqdam.
B. Saran
Untuk kesempurnaan makalah ini saya mengharap kritik dan saran yang membangun.
DAFTAR PUSTAKA
Mun’im, Adul, al-Mausu’ah al-Shufiyah fi al-Islam (Kairo: Dar al-Fikr al-Arab, 1966)
Ash-Shiddiqy, Hasby, Sejarah dan Pengantar ilmu hadist (Bulan Bintang , Jakarta, 1977)
Isa, Ahmadi.Tokoh-Tokoh Sufi (Jakarta: Rajagrafindo, 1945)
Rosikhon Anwar, Sholihin, Ilmu Tasawwuf .(Bandung: Pustaka Setia , 2000)
Jamil, Moh. Cakrawala Tasawwuf (Jakarta: Gaung Persada Press, April 2007)
Anwar, Rosikhon.Akhlaq Tasawwuf ( Bandung: Cv Pustaka Setia, 2009)
Http://tulizan.blokspot.com/2010/07/konsep-insan-kamil-abdul-karim-al-jilli.html
|
[1]Rosikhon Anwar, Mukhtar Sholihin, Ilmu Tasawwuf ,(Bandung: Pustaka Setia, 2000).Hal .153
Qutb merupakan gelar kehormatan yang diberikan kepada sufi besar . Totok Jumanto. Samsul Monir Amin , kamus akhlaq Tasawwuf. (Sinar Grafika oesek. 2005).Hal.186
[2] Http://tulizan.blokspot.com/2010/07/konsep-insan-kamil-abdul-karim-al-jilli.html
T. Qodariyah Naqsabaniyah merupakan univikasi atau penyatuan dan modivikasi m sebuah tarekat yang lahir pada abad ke 19.Totok Jumanto .Drs. Samsul Monir Amin,kamus akhlaq Tasawwuf. (Sinar Grafika oesek.2005) Hal.179
[3] Insan Kamil adalah manusia senpurna,Karenanya merupakan manusia universal . Ia adalah wakil atau kholifah Allah.Totok Jumanto . Samsul Monir Ami, kamus akhlaq Tasawwuf.(Sinar Grafika oesek .2005). Hal.93
[4]Rosihin Anwar ; Mukhtar Sholihin. Ilmu Tasawwuf. Rosikhon Anwar, Mukhtar Sholihin. Ilmu Tasawwuf ,(Bandung: Pustaka Setia, 2000).Hal 153-158
[5] Rosihon Anwar. Akjlaq Tasawwu . (Cv.Pustaka Setia , Bandung .2009). Hal. 179.
Maqom adalah kedudukan spiritural. Sebuah maqam diperoleh dan dicapai melalui upaya dan ketulusan sang penempuh jalan spiritural. Totok Jumanto , Samsul Monir Amin. kamus akhlaq Tasawwuf. (Sinar Grafika oesek. 2005). Hal.136
[6] Moh. Jamil . Cakrawala Tasawwuf . (Gaung Persada.Press. Jakarta: April 2007) .Hal .115
[7] Khouf adalah suatu sikap mental merasa takut kepada Allah karena kurang pengabdiannya. Totok Jumanto . Samsul Monir Amin , kamus akhlaq Tasawwuf.( Sinar Grafika oesek .2005). Hal.119
Rajak adalah Suatu harapan atau mental optimisme dalam memperoleh karunia dan nikmat ilahi yang disediakan bagi hamba-hambanya yang sholeh. Samsul Monir Amin. kamus akhlaq Tasawwuf. (Sinar Grafika oesek. 2005). Hal.188
[8] Abbas Mahmud Al-Aqad .1978. Kecemerlangan kholifah Umar .Bustani
[9] Iradah adalah Cinta yang luhur dan suci tanpa syarat kepada Allah. Totok Jumanto. Samsul Monir Amin , kamus akhlaq Tasawwuf.( Sinar Grafika oesek .200)5. Hal. 131.
[10]Rosihin Anwar; Mukhtar Sholihin. Ilmu Tasawwuf .
[11] Abu Al-Wafa’, sufi dari zaman ke zaman.Terjemah.Ach Rafi’ Usmani. (pustaka.Bandung,1985). Hal.131
[13] Isa, Ahmadi, Tokoh tokoh sufi.( PT Rajagrafindo, Jakarta: 1985) .Cet. I.Hal .217-220
0 komentar:
Posting Komentar