ul#list-nav { list-style:none; margin:20px; padding:0; width:525px } ul#list-nav li { display:inline } ul#list-nav li a { text-decoration:none; padding:5px 0; width:100px; background:#FF0099; color:#eee; float:left; text-align:center; border-left:1px solid #fff; -moz-border-radius: 5px; } ul#list-nav li a:hover { background:#FF6699; color:#000 -moz-border-radius: 5px; }
Selamat datang di dunia PUTERI YANG BERDURI. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Moral Santri Dalam Pendidikan Pesantren Modern

Tema pesantren makin menarik untuk dikonsumsi sebagai bacaan populer dan akademik. Dikatakan demikian, karena sekarang ini sedang trend kecenderungan transformasi, baik dibidang social,karakter, pendidikan,ekonomi, juga politik, dimana pesantren dianggap kawah candradimuka dalam proses transformasi tersebut lembaga lembaga pendidikan formal yang berkaitan dengan pendidikan diatas tentu akan memperbanyak koleksi buku-buku tentang pesantren. Selain itu pemerintah juga memberikan perhatian yang cukup besar kepada pesantren.Banyak program pembangunan yang diupayakan masuk ke pesantren atau diintrodusir ke masyarakat lewat legitimasi kiai agar program tersebut sukses sesuai dengan tujuan pembangunan nasional. Terlepasa dari tendensi politik ( inin perlu disebut sebab sering dijadikan anak panah untuk membidik pesantren secara politis atas nama pembangunan ).

Pesantren merupakan institusi keagamaan yang tidak bisa dilepaskan dari masyarakat .Lembaga ini tumbuh dan berkembang dari dan untuk masyarakat dengan memosisikan dirinya sebagai bagian mayarakat dalam pengertian yang transformatif .Dalam konteks ini pendidikan pesantren pada dasrnya merupakn pendidikan yang sarat dengan nuansa transformasi sposial . Pesantren berikhtiyar meletakkan visi dan kiprahnya dalam kerangka pengabdian social yang pada mulanya diletakkan pada karakter dan moral keagamaan dan kemudian dikembangan kepada rintisan rintisan pengembangan yang lebih sistematis dan terpadu.

1. Usaha yang harus dilakukan untuk membangun etika santri

Ayat pertama kali turun dalam Surat al-Alaq secara signifikan menegaskan untuk membaca dan belajar bagi kaum muslim. Menjadi muslim berarti menjadi santri, menjadi santri berarti tidak boleh lepas dari kegiatan belajar selama 24 jam di lembaga pendidikan pesantren. Penanaman nilai-nilai agama yang memiliki kebenaran mutlak dan berorientasi pada kehidupan ukhrawi menyebabkan santri diharap benar-benar memiliki aqidah yang kuat, syari'at yang matang dan ilmu pengatahuan yang mumpuni. Penanaman nilai moral juga mendapat tempat signifikan dalam setiap pesantren. Hal ini disebabkan para Kiai adalah pewaris para Nabi. Nabi tidak mewariskan apapun kecuali ilmu pengatahuan dan akhlaq yang mulya. Hal ini ditegaskan sendiri oleh beliau:"Para ulama adalah pewaris para nabi, nabi tidak mewariskan dinar ataupun dirham, mereka hanyalah mewariskan ilmu"Maka pesantren mempunyai kewajiban untuk menumbuhkan moral dan etika yang baik pada diri santri yaitu dengan tahapan berikut.

a. Membangun karakter, moral dan etika sosial masyarakat

Fenomena yang berkembang selama asepuluh tahun terakhir ini menampakkka civility sebagai bagian dari masyarakat yang berbudaya mengalami pemunduran dari bangsa Indonesia.Amuk massa kerusuhan pertentangan sosial , serta konflik vertical dan horizontal dari waktu kewaktu terus terjadi diberbagai tempat. Bahkan ada kecenderungan bahwa kejadian semacam itu mengalami eskalasi yang cukup mengerikan .

Hal ini menunjukkan bahwa ummat islam secara umum dan muslim Indonesia secara khusus sampai derajat tertentu , belum mampu mengaktualisasikan misiitu dalam realitas konkret. Mereka belum dapaat menerjemahkan secara kreatif dan bertanggung jawab nilai nilai luhur islam , khususnya yang berkaitan dengan aspek sosial yang sejatinya mencerahkan kehidupan dalam segala ruang dan waktu dalam kehidupan, terutama dalam masa kontemporer ini.

Berdasarkan kenyataan kenyataan itu lembaga keislaman memiliki tanggung jawab besar untuk menelisik persoalan tersebut dan berupaya mencari jalan keluar yang dapat memberikan sumbangan bagi terciptanya kehidupan yang lebih baik pada masamasa mendatang. Institusi keislaman harus mereformasi keberadaan islam sebagai aga ma sosial yang bertujuan bagi terciptanya suatu komunitas atau masyarakat yang berkeadaban dalam berbagai dimensinya.Dalam kontek Indonesia , Pesantren sebagai institusi keislaman dan lembaga pendidikan islam yang genuine Indonesia menjadi tidak terelakkan untuk trlibat secara total dalamn persoalan tersbut.Lembaga ini dituntut untuk meltakkan nilai-nilai islamyang holistic individual dan sosial serta vertical dan horizontal kealam kenyataan kehidupan.[1]

Berbicara tentang pengembangan nilai dan ajaran agama islam dalam masyarakat Indonesia maka pelibatan pesaratan pesantren menjadi susatu keniscaan yang sama sekali tidak dapat diabaikan .Kemestian itu berujung pada suatu kenyataan , pada suatu sisi , pesantren merupakan lembaga islam yang berwatak pribumi sehingga pengembangan nilai-nilai islam melalui institusi ini memiliki peluang yang lebih besar untuk dapat diterima di masyarakat luas. Disisi lain , pesantern sejak awal kemuncylan tidak dapat dilepaskan dari masyarakat. Lembaga ini tumbuh dan berkembang dari dan untuk masyarakat . Pesantren didirikan berdasarkan hasrat yang kuat untuk melakukan transformasi sosial bagi masyarakat daerah sekitarnya .Ia hadir untuk mengabdikan dirinya mengembangkan dakwah islam dalam pengertian luas, mengembangkan masyarakat sesuai nilai-nilai keagamaaan, serta pada saat yang sama masyarakat memberikan dukungan atas kiprah yang dilakukan pesantren.[2]

b. Menciptakan model kebersamaan , keterbukaan dan keihlasan

Komunitas santri sebenarnya merupakan masyarakat islam yang terdiri atas kelompok-kelompok anak didik yang saling terikat oleh tradisi dan sistem , kebiasaan serta hokum hokum ” ekologi” yang khas dan jarang ditemuikesamaannnya pada komunitas yang lain.Kehidupan bersama khas pondok pesantren adal;ah kehidupan yang didalamnya kelompok-kelompok santri bersama-sama di suatu wilayah tertentu dan sama-sama berbagi iklim serta makanan yang sama.Kehidupan masyarakat santri bersifat fitrah .Disatu pihak , kebutuhan keuntungan , kepuasan karya dan keuntungankarya dan keuntungan sehari-hari .pada hakeketnya bersifat kemasyarakat islam , dan sistem kemasyarakatannya akan tetap maujud selama pembagian dan rasa saling membutuhkan dalam suatu perangkat tradisi dan sistem keislaman . Dipihak lain gagasan gagasan ideal, perangai perangai serta kebiasaan khas setiap hari, dapat member mereka suatu satu kesatuan . Dengan kata lain masyarakat santri adalah suatu kelompok manusia yang dibawah pemenuhan seperangkat kebutuhan dan pengarah seperangkat kepercayaan , ideology dan tujuan tersatukan sampai melebur dalam rangkaian kesatuan hidup bersama.

Santri di pondok pesantren punya kebiasaan unik yakni menggunakan sesustu milik santri lain sekenanya .Setiap santri menganggap benda yang ada dalam milik bersama dan penggunapun keroyokan . Bila ada stu barang atau benda yang dibutuhkan langsung dipakai , tidak peduli siapa pemiliknya.Kebiasaan ini dikenal dengan ghosob . Budaya ghosob tidak hanya terbatas pada satu jenis nbarang seperti sandal, baju sarung kopyah dan sebagainya .Jika ada sntri yang masuk pada bilik temannya dan disitu ada makanan, santri tersebut langsung menyantapnya . Biarkan pemilikpun tidak ada .Lain halnya bila ada kiriman nasi gulung dari orang tua . Santri yang dapat kiriman dari orang tua langsung berteriak member pengumuman ada nasi gulung . Santri satu daerah sudah pasti berdatangan dan ramai-ramai makan bersama , rebutan ambil suapan, prsis anak ayam yang dipanggil ibunya.memang ada kesan serabutan tapi tak bisa dibandingkan dengan nikmatnya makan dilestorant.Hal tersebut ada hal senasib dan seperjuangan , sosialisasi dan kebersamaan yang tinggi.

Ada perbedaan yang mencolok antara komonitas santri dengan masyarakat diluae sana. Perbedaan ini sebabkan oleh perbedaan perbedaan .Perbedaan ini disebabkan oleh kebiasaan sehari-hari .Kepemilikan brang masyarakat luar mutlak atas nama pribadi , individual. Tidak ada barang pribadi yang boleh diatas namakan milik bersama , kecuali barang yang dapat secara kolektif . Persepsi seperti ini menimbulkan sense of be longing yang tinggi terhadap milik pribadi dan kurang toleran bila barangnya dipakai orang lain . Puncaknya timbul sikap arogan dan pengagungan yang berlebihan terhadap harta benda.

Kepentingan kepentingan bersama dan ikatan ikatan tertentu kehidupan islami mempersatukan santri dengan memberi setiap individu suatu rasa kesatuan yang serupa dengan pengalaman sekelompok orang yang melakukan perjalanan bersama dalam sebuah kendaran dengan tujuan yang sama dan sama-sama berharap bisa sampai tujuan dengan selamat.Bila timbul bahaya dan kendala diperjalanan dihadapi bersama .Sifat penuh kebersamaan seperti model kehidupan asyarakat santri sebadan dengan nabi Muhammad saw ketika beliaumelukiskan filsafah Amr ma’ruf nahi mungkar dengan perumpamaan “ Sekelompok orang sebuah perahu berlayar gelombang dan membelah gelombang .masing masing mendapatkan tempat duduk , salah seorang musafir itu dengan menyatakan bahwa tempat duduknya adalah miliknya , mulai membuat sebuah lubang dibawah tempat dduknya dengan sebuah alat tajam . Andai kata para musafir yang lain tidak segera menahan tangannyta dan mencegah berbuat demikian tntu mereka semua termasukmsi celaka itu akan terancam tenggelam .

Gambaran penuh kebersamaan pada komunitas santri jarang kita temui di masyarakat luar . Masyarakat luar merukan diskripsi sosial yang penuh kepura puraan , kontradiktif, formalistis , dan ekspansis . Masing masing individu berusaha menekan individu yang lain . Jabatan dan kekayaan difungsikan sebagai symbol kedududkan dan menjadi instrument yang semakin lama tambah kuat menekan kelompok kecil.Dominasi dan kependudukan , pemilikan kekuasaan dan ketiadaan pemilikan kekayaan , prestise tinggi dan prestise rendah semuanya menumpuk menjadi satu mempengaruhi jalannya hubungan antara individu . Hal demikian ditambah lagi dengan pengingkaran secara simultan terhadap sistm makna dan nilai yang berlaku di masyarakat . sebuah gambaran gejala komunikasi sosial yang semakian memperjauh kekerabatan dan melebihi kjesenjangan masyarakat feudal – borjuis hyang digambarkan oleh Raff Dahrendorf.[3]

c. menanamkan akhlak sosial sebagai dasar untuk membangun Masyarakat berkeadaban

Pesantren dengan segala elemennnya , tentu tidak bisa hanya tinggal diam melihat krisis kemanusiaan yang bsedang berlangsung itu menimpa masyarakat Indonesia.Pesantren dituntut untuk melihad kembali visi dan misi yang diembannya.Pesantren apa dan dimanapun mesti memiliki visi yang transformatif bagi terciotanya masyarakat yang beroendidikan yang secara substansial sangat berkelindan dengan keadaban .Melalui visi itu , pesantren ditantang untuk mengembangkan pendidikan dalam ari yang sebenar benarnya , bukan sekedar pengajaran atau melakukan transfer ilmu pengetahuan semata , apalagi hanya bersifat formalitas.

Pencapaiuan kearah situ meniscayakan pesantren untuk membaca kembali nilai-nilai luhur yang telah menjadi tradisi pesantren sehingga dapat dapat dikontekstualisasikan dengan kondisi kekinian.Untuk itulah sebuah metologi yang tepat , wawasan yang luas, serta proses berkesinambungan menjadi kondisi mutlak yang harus dilakukan dan dikembangkan. Melalui upaya itu nilai nilai moral islam diharapkan dapat dikembangkan menjadi ahlak sosial , dan pada gilirannya dapat mewujudkan masyarakat yang berkeadaban menuju kehidupan yang lebih adil , damai dan sejahtera.[4]

d. menerapkan nilai-nilai keagamaan dan kemasyarakatan

Perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi sebagai gejala kebudayaan telah memaksa keterlibatan berbagai nilai yang terdapat dalam masyarakat, baik yang menyangkut segi segi kepercayaan terhadapa nilai-nilai yang sudah mapan maupun segi-segi aqidah keagamaan .Disinilah norma norma kemasyarakatan, keagamaan sering kali terdesak oleh kecenderungan budaya industry, termasuk didalamnya industry parawisata, sehingga pergeseran nilai lebih merupakan usaha usaha melayani perubahan yang menjadi minat masyarakat.

Nilai nilai keagamaan dan kemsyarakatan sangat penting untuk diajarkan diterapkan diduna pesantren , untuk melahirkan masyarakat yang agamis dan sosial .Untuk nilai-nilai tersebut sebuah pesantren dapat melaksnakannnya perlu disususn langkah lanhgkah maju, sasaran yang kita kehendaki agar dengan selamat dalam kita menggapainya .Langkah langkah tersebut yaitu sebagai berikut :

Pertama, Melalui gerakan kajian dan pendalaman sebagai budaya tekstual maupun kontekstual disertai dengan kesadaran pengamalan ajarannya.Patut dikemukakan bahwa isi ajaran islam harus dilakukan oleh dan atas bimbingan para ahli dari berbagai ahli, dari berbagai disiplin ilmu , sehingga keluasan isi islam terungkap kembali seperti yang telah dilakukan oleh ulama dan cendikiawan musim pada era keemasan islam

Kedua, meningkatkan kemampuan para santri dalam melihat , menilai dan merumuskan gejala dan realitas sosial untuk mencari kemungkinan pengembangan dan pemecahan masalahnya kini dan akan datang melalui kaidah kaidah agama.

Ketiga, Membiasakan para sntri untuk melaksanakan disipli displin pondok yang berkenaan dengan nilai-nilai keagamaan ,misalnya mengharuskan para santri untuk melaksanakan solat malam.

Keempat, Mengharuskan para santri untuk menerapkan tatakrama serata sopan santun dalam sehari hari , agar terbiasa menerapkannya jika telah terjun di tengah tengah masyarakat nantinya.

Kelima, Mengarahkan para santri akan mahluk sosial dan masyarakat madani .Agar kelak dapat hidup bermasyarakat, saling berbagi, menolong dan tidak mendahuluoikepentingan individual.

Keenam, Memberikan kuliah kemasyarakatan , agar nantinya lebih efesien dalam bergaul; dalam masyarakat luas.Dan agar dapat menghidupkan kembali nilai nilai kemasyarakatan yang kini mulai pudar .[5]

e. Mengangkat peran pesantren dalam pengembangan civil socity

Ada salah satu anggapan bahwa salah satu penyebab merebaknya kekerasan di Indonesia sejak peeruh terakhir dasawarsa ini merujuk pada peran yang sangat hegomonik ddan tidak tertandingi.Negara, seperti diungkap hikam , menjadi otoriter birokratik dan memiliki pengaruh luas serta mengatasi masyarakat .Ia hadir sebagai satu-satunya penentu segala kebijakan yang tidak dapatdibantah dan dikritisi\.Sedang masyarakat sekedar menjadi pelengkap yang hanya berhak menyetujui segala sesuatu yang telah ditentukan Negara .

Dalam sebuah Negara integralistik yang tidak diimbangi oleh civil society , Negara dapat bertindak sesuka hati dan berbuat apa saja dalam rangka mengamankan kebijakan dan proyek-proyek yang dilaksanakannya.Akibatnya kekerasan Negara, structural maupun non structural, menjadi fenomina fenomina yang dapat ditemukan dimana mana.kekerasan itu nkian cukup tak terhindar ketika edeologi developmentalisme yang dianut Negara memang terbatas , menjadi fenomina fenomina yang dapat ditemukan dimana mana.kekerasan itu nkian cukup tak terhindar ketika edeologi developmentalisme yang dianut Negara memang terbatas , menjadi fenomina fenomina yang dapat ditemukan dimana mana.kekerasan itu nkian cukup tak terhindar ketika edeologi developmentalisme yang dianut Negara memang terbatas , menjadi fenomina fenomina yang dapat ditemukan dimana mana.kekerasan itu nkian cukup tak terhindar ketika edeologi developmentalisme yang dianut Negara memang terbatas , menjadi fenomina fenomina yang dapat ditemukan dimana mana.kekerasan itu nkian cukup tak terhindar ketika edeologi developmentalisme yang dianut Negara memang terbatas , menjadi fenomina fenomina yang dapat ditemukan dimana mana.kekerasan itu nkian cukup tak terhindar ketika edeologi developmentalisme yang dianut Negara memang terbatas , menjadi fenomina fenomina yang dapat ditemukan dimana mana.kekerasan itu nkian cukup tak terhindar ketika edeologi developmentalisme yang dianut Negara memang terbatas , menjadi fenomina fenomina yang dapat ditemukan dimana mana.kekerasan itu nkian cukup tak terhindar ketika edeologi developmentalisme yang dianut Negara memang terbatas sekat tipis dengan kekerasan.[6]

Untuk mengatasi persoalan yang mungkin sudah kronis, pemberdayaan masyrakat menjadi sesuatu yang sangat urgen untuk dijadikan salah satu tolehah solusi. Dalam bahasa yang lebih gamblang pengembangan civil society merupakan kondisi niscaya yang perlu dibumikan secara kukuh di negeri ini dan pesantren (sebagaimana akan dijelaskan) memiliki potensi yang cukup menjanjikan dalam mewujudkan masyrakat semacam itu.[7]

2. Moral Santri di Lingkungan Pesantren Masa Kini (Pasca Modern)

a.Moral dan Etika Santri Masa Kini

Dehumanisasi dalam bentuk kritis moral yang akut telah menjadi bagian yang nyaris melekat dalam kehidupan kontemporer.Manusaia nanya hidup meminjam ungkapan Hossein Nasr ,dengan sekadar sepotonhg roti.Manusia telah memotong fitroh dan sejarahnya sebagai mahluk spiritural dan bermoral.Manusia hanya mengejar kehidupan yang bersifat lahiriah,hal hal yang bersifat permukaan dan mementingkan formalitas tanpa substansi.Manusia telah kehilangan nilai nurani dan tak lagi mampu menangkap kearifan-kearifan universal yang ada dalam tradisi dan agama.

Krisis yang pada awalnya berkembang pada umat manusia didunia pertama yang modern,semisal dunia baratkini telah merambah hamper seluruh umat manusia di berbagai belahan dunia ,termasuk Indonesia.Kenyataan menunjukkan :bangsa Indonesia yang sering disebut religius dengan segala keramahtamahannya, sekarang justru berada dalam penjara pop culture yang dekaden serta hidup dengan kepura puraan .

Hal semacam itu pula yang mulai terjadi di pesantren. Lembaga yang sejatinya merupakan sumber kearifan dan memiliki resistensi tinggi terhadap segala proses pemudaran nilai-nilai moral lambat tapi pasti mulai terperangkap kedalam kehidupan yang dehumanistik yang berlawanan dengan sifat sifat manusia yang fitri.Gejala gejala yang tampak mulai akhir akhir ini menunujukkan bahwa masyarakat pesantren mulai terbiasa dengan sikap dan prialaku yang pragmatis dan formalistic serta menjadi pula bagian dai pop culture.Nilai nilai yang dulu dijunjung tinggi dalam dunia pesantren ,seperti keikhlasan ,semangat keilmuan yang tnggi, kesederhanaan (lebih mementingkan roh ketimbang bentuk),dan keteladanan yang arif kini mulai menghilang,terutama pada tataran pelaksanaan dalam kehidupan komunitas pesantren (siswa,guru,masyarakat sekitar dan sebagainya).

Sebagai lembaga pendidikan agama sekaligus bagian komunitas dunia yang menjunjung nilai-nilai moral keagamaan, pesantren dituntut pula menyikapi realitas kehidupan sebagai persoalan kemanusiaan.Dalam bahasa lain pesantren dituntut untuk mencari solusi yang tepat, sistematis, dan berjangkauan luas kedepan sehingga diharapkan bisa menyelesaikan problem tersebut.[8]


Oleh karena itu, apa yang ditetapkan dan dipraktekkan oleh Kiai untuk kemudian diikuti oleh santri merupakan implementasi ajaran-ajaran salaf yang bersumber pada prilaku Nabi Muhammad yang tercover dalam hadits-haditsnya tentang; bagaimana etika santri dengan orang-orang sekitarnya dan bagaimana etika santri dengan rabbnya. Semua itu dilakukan secara disiplin dan istiqamah. Disiplin dalam bersikap, disiplin dalam ibadah dan disiplin dalam amaliyah sehari-hari, meskipun itu butuh proses panjang dan perjuangan yang gigih. Pendidikan pesantren selama 24 jam menstimulasi santri membiasakan diri disiplin melakukan amaliyah-amaliyah wajib maupun sunnah, membaca wirid-wirid, membaca al qur’an dan prilaku-prilaku hasanah, sehingga terbentuklah santri yang taat guru, taat orang tua, taat agama, dan taat berbangsa.

Idealitas di atas seandainya dapat terealisasi secara menyeluruh, niscaya akan dapat menciptakan pribadi-pribadi santri yang tangguh, mumpuni, mandiri dan matang secara profesional. Cita-cita pesantren dalam meneruskan estafet perjuangan Nabi tentu tidak akan sulit terlaksana. Begitupun idealitas pesantren sebagai basic pertahanan ajaran-ajaran Islam. Namun realitanya justru berbalik. Ternyata prinsip-prinsip pesantren mulai bergeser dikalangan santri, khususnya para remaja. Pergeseran ini disebabkan kecenderungan mereka mengikuti budaya-budaya luar yang tak sejalan dengan prinsip pesantren. Pelanggaran-pelanggaran atau prilaku negatif santri kerap bermuara pada budaya tersebut, seperti melihat konser musik, kekerasan fisik, pencurian, pacaran, pesta miras atau sabu-sabu, dan lain-lain. Begitu pula cara penampilan mereka yang tidak sedikit mengikuti gaya yang sedang tren di kalangan selebritis, seperti; mode pakaian yang gaul, gaya rambut yang modis dan berwarna, gelang tangan dan memakai kalung. Belum lagi cara bergaul yang sok abis, seperti tidak lagi bersikap tawadlu pada guru dan orang-orang sekitarnya terutama orang tua, tutur kata yang kasar, suka urakan dan rendahnya sikap menghormati. Budaya dan etika non-religius seperti itu ditelan mentah-mentah tanpa disikapi secara kritis.[9]

Kemerosotan moral santri ini mengacu pada rendahnya pemahaman ajaran ulama-ulama salaf yang tertuang dalam bentuk ahwal (prilaku), lisan (wejangan) atau tulisan (kitab/buku). Akibatnya, identitas santri sedikit demi sedikit mulai terkikis seiring perkembangan usia, lebih-lebih pada remaja. Diperparah lagi karena pengaruh pesatnya laju budaya modern dan informasi tanpa ada filter ketat. Obyek perhatian santri dalam berpikir, bersikap dan bertindak juga mulai bergeser mengikuti aturan main remaja sebaya yang berkembang di lingkungan eksternal pesantren. Kontrol diri yang lemah akan menambah daftar "kenakalan" santri yang tidak bisa mempelajari dan membedakan tingkah laku yang dapat diterima dengan yang tidak dapat diterima. Begitupun bagi mereka yang telah mengetahui perbedaan dua tingkah laku tersebut, namun tidak bisa mengembangkan kontrol diri untuk bertingkah laku sesuai dengan ilmu pengetahuannya.

Kegagalan mencapai identitas peran dan lemahnya kontrol diri bisa dicegah atau diatasi dengan prinsip keteladanan. Santri harus bisa mendapatkan sebanyak mungkin figur tokoh-tokoh pesantren yang telah melampaui masa nyantrinya dengan baik. Usaha apa saja yang mereka lakukan hingga bisa mencapai taraf kesuksesan, baik dari segi intelektual maupun segi kepribadian untuk kemudian dipraktekkan.[10]

Banyak kajian yang membahas idealnya seorang santri, namun itu hanya omongan dan diskusi belaka, visualisasi dalam bentuk tindakannya non sence. Banyak santri yang mulanya memang benar-benar concern pada tujuan dari rumah, yaitu mencari ilmu sesungguhnya dan bahkan hal itu mereka jadikan tujuan akhir (final mission) demi tercapainya cita-cita yang tidak mengukur tingkat pengorbanan yang dilakukan. Atau bahkan mereka yang dulunya niat, berputar 180 derajat menjadi gak niat. Ironisnya mereka malah bangga dan ketika ditanya sama orang luar, mereka dengan pede mengatakan “saya adalah santri”. Hal tersebut patut kita tanyakan, santri seperti apa yang dalam aktifitas kepesantrenannya tidak pernah mentaati peraturan, sering bolos sekolah, tidak pernah mengaji atau hal-hal yang menjadikannya sebagai target operasi pencarian orang oleh KAMTIB Pesantren atau pihak kesiswaan lembaga atau bahkan oleh sang Kyai.

Selama ini santri dikenal sebagai orang yang penuh dengan etika kesopanan dan memiliki semangat perjuangan,kemandirian serta kesederhanaan. Santri dikatakan punya semangat perjuangan karena selama proses pencarian ilmu, seorang santri dihadapkan pada permasalahan-permasalahan yang pelik, seperti kewajiban untuk hafalan atau kewajiban lainnya yang kewajiban tersebut harus dipenuhi dengan rasa pengorbanan. Seorang santri juga memiliki semangat kemandirian, karena santri ketika berangkat dari rumah untuk menimba ilmu di pesantren santri tidak akan ditemani oleh kedua orang tua mereka, saudara ataupun kerabat dan otomatis santri akan menggapai asanya hanya seorang diri dan hal itulah yang menjadikan santri selalu hidup dalam kemandirian. Sedangkan santri dikatakan memiliki kesederhanaan karena dalam kehidupannya santri identik dengan budaya “kekurangan”. Betapa tidak, tidur beralaskan tikar seadanya atau malah tidak beralas sama sekali, setiap hari makan nasi liwet yang konon diragukan nilai ke-higenis-annya. Dari semangat itulah santri juga dikenal sebagai moral force (kekuatan moral) yang mendorong tumbuhnya masyarakat yang rukun dan harmonis. Dalam pada itu juga, meminjam kategorisasi Kuntowijojo (1994) tentang budaya santri, budaya agama atau kesantrian dapat dilihat dari segi spiritualitas, etika dan simbol-simbol. Seperti yang dikatakan sebelumnya, hal tersebut menandakan bahwa santri adalah orang yang baik, suka akan kebersamaan (egaliterian) dan mempunyai solidaritas tinggi.[11]

Persoalan menjadi lain ketika komunitas santri masuk jauh kedalam pusaran modernitas, lambat-laun etika dan semangat yang dimiliki tersebut pudar. Hal ini juga berimplikasi pada perubahan paradigma mereka. Seperti yang terjadi pada Pesantren kita yang tercinta ini. Sebagian besar santri telah terkontaminasi oleh alur budaya modern. Sebagai bukti, coba kita bandingkan semangat mereka ketika sekolah Diniyah dengan sekolah Formal. Mereka akan lebih semangat sekolah Formal dari pada sekolah Diniyah yang ini dibuktikan dari data keaktifan siswa ketika sekolah formal dengan sekolah diniyah. Hal tersebut memang merupakan wacana klasik (classic history), artinya dari dulu sampai sekarang memang permasalahan tersebut sudah ada.

Tidak hanya itu karena mengikuti alur modernitas yang salah sekarang santri dapat dikatakan tidak manut pada sosok sang Kyai, ini terbukti dari semakin bertambahnya pelanggaran sumpah santri yang meski setiap pengajian Kyai telah merefresh ingatan kita akan sumpah tersebut. Pada awalnya hubungan Kyai-Santri kita kenal dengan patron-client, dimana seorang santri harus taat dan patuh terhadap guru (kyai). Seorang Kyai pasti menjadi suri tauladan yang baik bagi santrinya yang meskipun pada masa sekarang banyak Kyai yang ditinggalkan muridnya gara-gara masuk dalam dunia politik praktis. Padahal seperti apa yang pernah diungkapkan oleh Clifford Geertz bahwa Kyai pesantren mempunyai peran besar dalam “makelar budaya” (cultural Broker). Sebaliknya Santri merupakan salah satu elemen yang kedudukannya di bawah sang Kyai yang dalam kesehariannya harus mengikuti titah sang Kyai. Mengapa santri harus tunduk dan manut pada sang Kyai? Hal ini diasumsikan bahwa sang Kyai adalah sumber ilmu pengetahuan di pesantren dan penjaga moral santri, sehingga kalau ada santri yang tidak nurut pada sang kyai berarti mereka telah merusak tradisi pesantren yang telah berjalan berabad-abad lamanya, dan itu sesuatu yang tidak wajar. Hal ini bisa dianalogikan pada perbedaan filsafat dengan ilmu pengetahuan, Kyai adalah filsafat dan santri adalah ilmu pengetahuan. Ini artinya fisafat kedudukannya lebih tinggi dari pada ilmu pengetahuan atau ilmu pengetahuan itu lahir gara-gara adanya filsafat.

Mereka terisolasi, Sehingga ketika mereka pulang (boyong) dari pesantren, tidak sedikit dari mereka yang tidak segan-segan melakukan tindakan yang dilarang di pesantren. Hal semacam itulah yang membuat sebagian orang tua mengurungkan niatnya untuk memondokkan anaknya. Sangat ironis memang, dan bisa dikatakan lebih ironis dari pada mendengar pesantren sebagai Disadari ataupun tidak itulah wajah santri masa kini. Santri yang terbawa arus modernitas yang kepribadiannya berbalik arah dengan kepribadian santri zaman dulu. Dulunya santri kemana-mana dikantong bajunya terdapat nadhom al-Fiyah, tapi kini terdapat handphone. Kalau setiap pesantren santrinya berkurang dalam ranah akhlak maka bukan tidak mungkin pesantren tersebut akan sepi tidak ada penghuninya. Pesantren yang seharusnya menjadi rumah tempat belajar, kini bagi mereka seakan-akan sebagai penjara sarang teroris yang sempat teringiang beberapa tahun lalu.[12]

3. Latar belakang merosotnya moral santri

Tentunya banyak hal yang melatar belakanginya dan salah satunya adalah karena pembentukan dari sebuah lingkungan sekitar. Seperti contoh, ada santri yang dari rumah memang niat untuk mondok, kemudian sesampainya di pesantren dia menempati kamar yang penghuninya mempunyai watak eror. Pertamanya memang santri tersebut tidak akan terpengaruh, tapi lama kelamaan santri tersebut akan terpengaruh dengan kondisi dan watak dari penghuni kamar. Tapi hal itu tidak akan terjadi ketika santri tersebut kuat dalam pendirian.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sebagai santri sering mengabaikan perbuatan-perbuatan kecil yang padahal perbuatan tersebut dapat berimplikasi pada keburukan tabiat kita. Kebiasaan sekecil atau sebesar apapun adalah tindakan yang berasal dari dalam tubuh kita. Mulai sejak kecil kita sudah pernah mendengar pepatah yang mengatakan “sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit” karena kontinuitas yang melandasinya. Kadang-kadang juga berawal dari coba-coba. Pertamanya santri ingin melanggar peraturan, namun tidak punya keberanian untuk itu, sehingga dalam hatinya terdapat pertempuran antara hati yang baik dan yang buruk. Karena hati yang buruk menang dan karena adanya kesempatan santri tersebut mencoba bereksperimen untuk melakukan penyimpangan. Awalnya dia berkomitmen untuk melakukannya satu kali, namun karena kecanduan, perbuatan tersebut menjadi suatu kebiasanaan. Seperti pepatah bilang “pertama-tama kita membentuk suatu kebiasaan dan lama kelamaan kebiasaanlah yang membentuk diri kita” dan akhirnya kalau satu hari saja perbuatan tersebut tidak dilakukan, serasa sekujur badan gatal-gatal semua.[13]


4.Upaya untuk menanggulangi merosotnya moral santri?

Kesadaranlah yang menjadi kata kunci (key word) untuk merubah paradigma kebiasaan-kebiasaan tersebut. Kita harus yakin pada diri kita, bahwa kita bisa menjalani kehidupan sebagai santri dengan tidak terpengaruh dari kebiasaan-kebiasaan buruk di sekeliling kita. Kita harus membangun kesadaran untuk menjadi diri sendiri. Menjadi diri sendiri bukanlah sifat egois jika hal ini kita landasi dengan mengikuti pada aturan atau norma yang ada. Memang dalam kehidupan kita tidak bisa mengelak dari arus modernitas, namun bagaimana kita bisa mewarnai modernitas tersebut dengan kepribadian menjadi santri yang santun. Kita sudah hidup dalam era zaman modern, paradigma yang kurang tepat harus kita buang-buang jauh-jauh, bila perlu kita bersihkan dengan norton utility antivirus dalam otak kita. Kita boleh meniru gaya orang lain sebatas tidak bertentangan dengan aturan dan norma yang ada.

Terlepas dari buruknya kondisi pesantren baik karena tatanan birokrasi atau kurang maksimalnya sarana, santri-lah yang harus kreatif. Dalam hal ini santri sebagai man of the match dalam menerjemahkan keinginan ataupun cita-cita menjadi santri yang berhasil mewujudkan keinginan kedua orang tua, guru dan masyarakat. Meminjam bahasanya Mochammad Mualliem jangan jadi santri yang seperti al-Qur’an rusak, dibaca tidak bisa dibuang membahayakan. Semoga kita disadarkan akan hal itu.[14]

BAB III

KESIMPULAN

Menjadi santri seharusnya tidak boleh lepas dari kegiatan belajar selama 24 jam di lembaga pendidikan pesantren. Penanaman nilai-nilai agama yang memiliki kebenaran mutlak dan berorientasi pada kehidupan ukhrawi menyebabkan santri diharap benar-benar memiliki aqidah yang kuat, syari'at yang matang dan ilmu pengatahuan yang mumpuni. Penanaman nilai moral juga mendapat tempat signifikan dalam setiap pesantren.Maka pesantren mempunyai kewajiban untuk menumbuhkan moral dan etika yang baik pada diri santri yaitu dengan tahapan berikut:

a. Membangun karakter, moral dan etika sosial masyarakat

b. Menciptakan model kebersamaan, keterbukaan dan keihlasan

c. Menanamkan akhlak sosial sebagai dasar untuk membangun Masyarakat berkeadaban

d. Menerapkan nilai-nilai keagamaan dan kemasyarakatan

e. Mengangkat peran pesantren dalam pengembangan civil socity

Idealitas seorang santri seandainya dapat terealisasi secara menyeluruh, niscaya akan dapat menciptakan pribadi-pribadi santri yang tangguh, mumpuni, mandiri dan matang secara profesional. Cita-cita pesantren dalam meneruskan estafet perjuangan Nabi tentu tidak akan sulit terlaksana. Begitupun idealitas pesantren sebagai basic pertahanan ajaran-ajaran Islam. Namun realitanya justru berbalik. Ternyata prinsip-prinsip pesantren mulai bergeser dikalangan santri, khususnya para remaja. Pergeseran ini disebabkan kecenderungan mereka mengikuti budaya-budaya luar yang tak sejalan dengan prinsip pesantren. Pelanggaran-pelanggaran atau prilaku negatif santri kerap bermuara pada budaya tersebut, seperti melihat konser musik, kekerasan fisik, pencurian, pacaran, pesta miras atau sabu-sabu, dan lain-lain. Begitu pula cara penampilan mereka yang tidak sedikit mengikuti gaya yang sedang tren di kalangan selebritis, seperti; mode pakaian yang gaul, gaya rambut yang modis dan berwarna, gelang tangan dan memakai kalung. Belum lagi cara bergaul yang sok abis, seperti tidak lagi bersikap tawadlu pada guru dan orang-orang sekitarnya terutama orang tua, tutur kata yang kasar, suka urakan dan rendahnya sikap menghormati. Budaya dan etika non-religius seperti itu ditelan mentah-mentah tanpa disikapi secara kritis.

DAFTAR PUSTAKA

Sukamto, Kepemimpinan Kiai Dalam Pesantren, (Jakarta: PT.Pustaka LP3ES, 1999).

Zaini Wahid, Dunia Pemikiran Kaum Santri, (Yogyakarta: LKPSM NU DIY, 1995).

Arif Choirul, Manajement Pesantren, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2005).

A’la Abd, Pembaruan Pesantren, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2006).

Thayib Ansyari, Moralitas Pendidikan Pesantren, (Yogyakarta: Lembaga Kajian dan Pengembangan, 1996).

Effendi, Bachtiar, Pergaulan Dunia Pesantren, (Jakarta: P3M, 1985).

Saridjo, Marwan, Sejarah POndok Pesantren di Inndonesia, (Jakarta: Dharma Bhakti, 1982).

Taufiq, Abdullah, Islam dan Masyarakat, ( Jakarta: LP3S, 1987).

Dhafier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren, (Jakarta: LP3S. 1982).



[1] A’la abd, Pembaruan Pesantren, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2006), Hal.155-156.

[2] Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat, (Jakarta,:LP3ES, 1987), Hal.152.

[3] Thayib Ansyari Pes, Moralitas Pendidikan antren, (Yogyakarta: Lembaga Kajian dan Pengembangan, 1996),Hal.55-57.

[4] A’la abd, Pembaruan Pesantren, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2006), Hal.163.

[5] Zaini Wahid, Dunia Pemikiran Kaum Santri, (Yogyakarta: LKPSM NU DIY, 1994), Hal. 37.

[6] Sueady Ahmad, Kekerasan salam perspektif Pesantren, (Jakarta: Grasindo-P3M, 2000), hal.116.

[7] Hikam Muhammad, Wacana Intelektual Tentang Civil Socity di Indonesia, (Bandung: Mizan, 2000), hal.40.

[8] Sayyed Hussein Nasr, Islam and the plight of modem man, (London and new York: Longman, 1975), hal.13

[9] Sukamto, Kepemimpinan Kiai Dalam Pesantren, (Jakarta: PT Pustaka LP3ES, 1999), hal.139.

[10] Arif Choirul, Manajement Pesantren, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2005), hal 143.

[11] Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat (Jakarta: LP3ES, 1987), hal. 111.

[12] Wahid Abdurrahman, Muslim di Tengah Pergumulan, (Jakarta:Lappenas, 1991), hal. 61

[13] Mahfudh Sahal, Moralitas dan Etika Santri,(Yogyakarta: Lembaga Kajian dan Pengembangan, 1996), hal.6-9.

[14] Ibid, hal.15.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar