PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Tidaklah berlebihan jika ada sebuah ungkapan “aththariqah ahammu minal maddah”, bahwa metode jauh lebih penting dibanding materi, karena sebaik apapun tujuan pendidikan, jika tidak didukung oleh metode yang tepat, tujuan tersebut sangat sulit untuk dapat tercapai dengan baik. Sebuah metode akan mempengaruhi sampai tidaknya suatu informasi secara lengkap atau tidak. Oleh sebab itu pemilihan metode pendidikan harus dilakukan secara cermat, disesuaikan dengan berbagai faktor terkait, sehingga hasil pendidikan dapat memuaskan. Kecenderungan pendidikan modern sekarang memandang tabu hukuman, memandang tidak layak disebut-sebut. Hukuman sesungguhnya tidaklah mutlak diperlukan. Pada orang orang teladan dan nasehat saja sudah cukup, tidak perlu lagi hukuman dalam hidupnya. Tetapi manusia itu tidak sama seluruhnya. Diantara mereka ada yang perlu dikerasi sekali-kali.
Hukuman bukan pula tindakan yang pertama kali terbayang oleh seorang pendidik, dan tidak pula tindakan yang didahulukan, nasehatlah yang didahulukan, begitu juga ajaran untuk berbuat baik. Tetapi yang terjadi adalah bahwa banyak manusia yang tidak mempan semua nasehat-nasehat itu padanya, atau semakin jauh menyimpang setiap kali nasehat atau teguran itu ditunjukkan kepadanya. Dari sini haruslah ada sediki kekerasan dalam mendidik anak-anak dan juga orang dewasa, untuk kepentingan mereka sendiri. Diantara bentuk kekerasan itu adalah hukuman atau ancaman.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan ulasan later belakang di atas, maka masalah yang akan dirumuskan dalam makalah ini adalah:
1) Bagaimana metode mendidik dengan hukuman dalam perspektif pendidikan islam ?
2) Bagaimana Pandangan Pakar Pendidikan Islam Tentang Hukuman dalam mendidik ?
3) Apa manfaat dan bahaya mendidik dengan hukuman ?
4) Apa saja jenis hukuman yang terlarang dan hukuman yang bermamfaat ?
BAB II
PEMBAHASAN
I. Metode Mendidik Dengan Hukuman Dalam Perspektif Pendidikan Islam
Istilah metode bisa dipahami sebagai jalan yang harus ditempuh atau dilalui untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Jika dikaitkan dengan pendidikan, maka metode adalah jalan atau cara yang ditempuh untuk mencapai tujuan pendidikan. Dalam bahasa arab, kata metode diungkapkan dalam berbagai kata. Terkadang digunakan kata at-tharīqah, manhaj, atau Al-wasīlah. Al-Tharīqah berarti jalan, manhaj berarti sistem, sedangkan al-wasīlah berarti perantara atau mediator. Jadi kata arab yang lebih dekat dengan metode adalah al-tharīqah yang berarti langkah-langkah strategis yang dipersiapkan untuk melakukan suatu pekerjaan, demi mencapai suatu tujuan. Yang jika dikaitkan dengan pendidikan islam, metode sebagai jalan untuk menanamkan pengetahuan agama pada diri seseorang sehingga terlihat pada pribadi obyek sasaran, yaitu pribadi yang islami.[1]
Dalam sejarah pendidikan islam dapat diketahui bahwa para pendidik muslim dari berbagai situasi dan kondisi yang berbeda telah menerapkan berbagai metode pendidikan atau pengajaran, yang diantaranya adalah metode teladan, kisah, nasehat, ceramah, pembiasan, diskusi serta metode ganjaran dan hukuman.[2]
Mohammad Qutbh mengatakan “ bila teladan dan nasehat tidak mampu maka pada waktu itu harus diadakan tindakan tegas yang dapat meletakkan persoalan ditempat yang benar, tindakan tegas itu adalah hukuman”.[3] Terhadap metode hukuman tersebut terdapat pro dan kontra, setuju dan menolak. Kecenderungan pendidikan sekarang memandang tabu terhadap hukuman itu tetapi generasi muda yang ingin tanpa hukuman itu seperti di Amerika adalah generasi muda yang sudah kedodoran, meleleh, dan sudah tidak bisa dibina lagi eksitensinya. Padahal kenyataan manusia banyak melakukan pelanggaran dan ini tidak dapat dibiarkan. Islam memandang bahwa hukuman bukan sebagai tindakan yang pertama kali harus dilakukan oleh seorang pendidik, dan bukan pula cara yang didahulukan, nasetlah yang paling didahulukan.
Islam menggunakan seluruh teknik pendidikan, tidak membiarkan satu jendelapun yang tidak dimasuki untuk sampai kedalam jiwa. Islam menggunkan contoh teladan dan nasehat serta targhib dan tarhib, tetapi disamping itu juga menempuh cara yang menakut nakuti dan ancaman dengan berbagai tingkatannya. Dari ancaman sampai pada pelaksanaan ancaman itu yang bisa disebut dengan hukuman.
Di dalam Al-quran hukuman bisa dikenal dengan nama adzab yang didalam Al-Quran diulang sebanyak 373 kali.[4] Jumlah yang besar ini menunjukkan perhatian Al-quran yang besar terhadap masalah hukuman dan meminta perhatian dari umat manusia. Misalnya dijumpai ayat ayat yang artinya Bila kamu tidak patuh, seperti dulu kamu tidak patuh, Dia akan menghukummu dengan siksaan yang sanagt pedih.(Q.S.46:16); Bila mereka tidak patuh, maka Allah akan menghukum mereka dengan hukuman yang pedih didunia dan akhirat.(Q.S Attaubah, 9:74); Ilaki laki dan perempuan yang mencuri potonglah olehmu kedua tangannya sebagai pembalasan atas apa yang mereka kerjakan.(Q.S. Al-Maiah, 5:38).
Ayat ayat tersebut diatas selain mengakui keberadaan hukuman dalam rangka perbaikan ummat manusia, juga menunjukkan bahwa hukuman itu tidak diberlakukan kepada semua manusia, melainkan khusus kepada manusia manusia yang melakukan pelanggaran saja. Manusia yang model seperti itu biasanya sulit diperbaiki denagn nasehat tau keteladanan melainkan harus lebih berat lagi, yaitu hukuman. Adanya hukuman seperti itu tidak dapat dikatakan sebagai tindak tidak manusiawi, karena pengertian manusiawi juga termasuk manusia dengan segala kekurangannya. Membiarkan manusia yang melanggar dan membiarkan mereka berkeliaran dan meresahkan masyarakat sangat tidak manusiawi, karena akan membawa kehancuran masyarakat yang lebih besar. Dengan demikian, pemberlakuan hukuman dalam pada pendidikan tidak berhenti pada hukuman itu sendiri, melainkan pada tujuan yang ada dibelakangnya yaitu agar manusia yang melanggar itu insyaf, bertaubat dan kembali menjadi orang yang baik. Dan ketika sudah berada dalam keadaan yang baik ini, mereka tidak lagi dihukum.[5]
Dengan demikian keberadaan hukuman diakui dalam islam dan digunakan dalam rangka membina hidup manusia melalui kegiatan pendidikan. Hukuman ini diberlakukan kepada sasaran pembinaan yang lebih bersifat khusus. Hukuman tersebut diperlakukan untuk orang yang melanggar dan berbuat jahat.[6]
II. Pandangan Pakar Pendidikan Islam Tentang Hukuman
1. Pandangan Ibnu Sina
Ibnu Sina pada dasarnya tidak berkenan menggunakan hukuman dalam kegiatan pengajaran. Hal ini didasarkan pada sikapnya yang sangat menghargai martabat manusia. Namun dalam keadaan terpaksa hukuman dapat dilakukan dengan cara yang amat hati-hati. Ibnu Sina menyadari sepenuhnya, bahwa manusia memiliki naluri yang selalu ingin disayang, tidak suka diperlakukan kasar dan lebih suka diperlakukan halus. Atas dasar pandangan kemanusiaan inilah maka Ibnu Sina sangat membatasi pelaksanaan hukuman. Penggunaan-penggunaan bantuan tangan adalah pembantu paling diandalkan dan merupakan seni bagi seorang pendidik. Dengan ada control secara terus-menerus, maka mendidik anak dapat diawasi dan diarahkan sesuai dengan tujuan pendidikan. Ibnu Sina membolehkan pelaksanaan hukuman dengan cara yang ekstra hati-hati, dan hal itu hanya boleh dilakukan dalam keadaan terpaksa atau tidak normal. Sedangkan dalam keadaan normal, hukuman tidak boleh dilakukan.[7]
2. Pandangan Al Ghozali
A1 Ghazali mengemukakan bahwa dalam mendidik anak itu hendaknya menggunakan beberapa metode. Metode yang bervariasi akan membangkitkan motivasi belajar dan bisa menghilangkan kebosanan. Selain itu pendidik hendaknya memberikan dorongan dan hukuman. Dorongan bisa dengan pujian, hadiah, dan penghargaan kepada peserta didik, sedangkan hukuman hendaknya bersifat mendidik dengan maksud memperbaiki perbuatan yang salah agar tidak menjadi kebiasaan.[8] Apabila pada suatu kali anak menyalahi perilaku terpuji, selayaknya pendidik tidak membongkar dan membeberkan kesalahan kesalahannya itu. Mengungkapan rahasianya itu mungkin akan membuatnya semakin berani melanggar. Jika anak mengulangi kesalahan yang sama, tegurlah dengan halus dan tunjukkan urgensi kesalahannya. Al Ghazali juga mengingatkan bahwasanya menegur dan mencela secara berkesinambungan dan mengungkit-ungkit kesalahan yang dilakukannya membuat anak menjadi pembangkang. Sehubungan dengan hal tersebut Al-Ghazali menegaskan “ Jangan terlampau banyak mencela setiap saat karena perkataan tidak lagi berpengaruh dalam hatinya. Hendaknya guru atau orang tua menjaga kewibawaan nasehatnya.[9]
Tahapan tahapan dalam memberikan materi dan metode pendidikan yang dirumuskan oleh Al-Ghazali sesuai dengan proses pendidikan yang disampaikan oleh Rasulullah Saw.
الغلام يعق عنه يوم السابع ويسمى ويماط عنه الأذى فإذا بلغ ست سنين أدب فإذا بلغ تسع سنين عزل فرلشه فإذا بلغ ثلاث عشرة سنة ضرب على الصلاة فإذا بلغ ست عشرة سنة زوجه أبوه ثم أخذه بيده وقال قد أدبتك وعلمتك وأنكحتك أعوذ بالله من فتنتك فى الدنيا وعذابك فىالآخرة
Seorang anak pada tujuh hari kelahirannya disembelihkan hewan akikah dan diberi nama yang baik serta dijaga kesehatannya. Ketika telah berusia 6 tahun, didiklah dia. Ketika berusia 9 tahun, latihlah dia hidup mandiri, dipisahkan dari tempat tidur orang tuanya. Ketika telah berusia 13 tahun, berilah sangsi bila ia meninggalkan shalat. Setelah sampai pada 16 tahun maka nikahkanlah dia. Setelah itu maka lepaslah tanggung jawab orang tuanya terhadap segala perbuatan anaknya, seraya berkata dihadapannya; “Aku mendidikmu, mengajarmu, menikahkanmu, maka aku mohon perlindungan Allah dari fitnahmu di dunia mauptn di akhirat kelak”.[10]
3. Pandangan Ibnu Khaldun
Ibnu Khaldun mengemukakan masalah imbalan dan hukuman di dalam bukunya Al-Muqaddimah, beliau tidak menyebutkan selain seorang pendidik harus mengetehui cara pertumbuhan akal manusia yang bertahap hingga ia mampu mensejalankan pertumbuhan itu dengan pengajarannya terhadap anak didik. Beliau menasehatkan agar tidak kasar dalam memperlakukan anak didik yang masih kecil, mencubit tubuh dalam pengajaran merusak anak didik, khususnya anak kecil. Perlakuan kasar dan keras terhadap anak kecil dapat menyebabkan kemalasan dan mendorong mereka untuk berbohong serta memalingkan diri dari ilmu dan pengajaran. Oleh karena itu pendidik harus memperlakukan anak didik dengan kelembutan dan kasih sayang serta tegas dalam waktu-waktu yang diutuhkan untuk itu.[11]
III. Mamfaat Dan Bahaya Mendidik Dengan Hukuman
Dalam syari’at islam, hukuman atau ‘uqubah dikonotasikan sebagai penegakan ketentuan - ketentuan Allah ( hudud ), karena di dalamnya terdapat sanksi tegas dan keras serta efektif dalam mencegah terjadinya beragam kemaksiatan. Sejalan dengan kesempurnaan hikmahNya. Berkaca pada ajaran islam, sewajibnya bagi setiap orangtua atau pendidik untuk selalu mengingat tujuan dari adanya hukuman, yakni meluruskan kesalahan agar sang anak kembali dan bertaubat dari perbuatan salahnya. Karena hukuman, terlebih lagi hukuman fisik, merupakan langkah terakhir yang ditempuh dalam memperbaiki satu kesalahan. Hukuman ini diberikan ketika nasehat ataupun ancaman sudah tidak mempan lagi bagi anak. Sedapat mungkin seorang pendidik menghindari bentuk hukuman fisik pada anak, mengingat bahaya yang mungkin ditimbulkan, antara lain:
1) Timbulnya cacat fisik pada anak yang dipukul.
2) Membekasnya hukuman tersebut pada jiwa anak, hingga mempengaruhi kondisi psikis dan emosinya. Mungkin saja ia akan meniru hal serupa dari orangtua atau gurunya dan melampiaskannya kepada temannya.
3) Hilangnya sikap saling menghargai antara orangtua atau guru dan anak. Bahkan mungkin menimbulkan kebencian diantara keduanya.
4) Terhambatnya pemahaman anak terhadap pembelajaran.
5) Serta bahaya-bahaya lain yang tentunya merugikan semuanya, baik orangtua atau pendidik, anak juga keluarga keduanya.[12]
IV. Jenis jenis hukuman yang terlarang
a) Memukul muka
Berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
إذَا قَتَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَجْتَنِبِ الوَجْهَ
“Jika salah seorang diantara kalian berkelahi maka hindarilah memukul wajah” [H.RMuslim]
Dan juga sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lain.
إَذَ ضَرَبَ أَحَدُكُمْ خَادِمَهُ فَلْيَتَّقِ الوَجْهَ
“Apabila salah seorang diantara kalian memukul pelayannya, maka janganlah memukul wajahnya” [Hadits hasan, lihat Shahihul Jami’ 187][13]
b) Kekerasan Yang Berlebihan
Seorang orangtua atau pendidik hendaknya berhati-hati ketika menghukum anak agar ia tidak menyesal dikemudian hari karena tindakan kasarnya terhadap anak. Kekerasan bukanlah satu simbol kekuatan ataupun kehebatan seseorang. Simaklah sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam berikut.
لَيْسَ الشَدِيْدُ بالِصُرْعَةِ، إنَّمَا الشَدِيْدُ الَذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الغَضَبِ
“Bukanlah orang yang kuat itu adalah orang yang menang dalam bergulat, akan tetapi orang yang kuat adalah orang yang mampu menguasai dirinya ketika sedang marah [Muttafaqqun ‘alaih]
Orang tua atau guru yang terlalu keras akan dijuluki oleh orang tuanya sebagai orangtua atau guru galak. Cukuplah hal ini sebagai aib bagi pendidikan.
c) Marah Besar
Biasanya hal ini terlahir dari orang tua atau pendidik yang kurang bisa mengontrol emosinya. Seharusnya pendidik dan orang tua mampu mengesampingkan ego manusiawinya serta tidak mengedepankan amarah ketika kata-katanya tidak dipatuhi anak. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam mengajarkan satu do’a ketika kita marah.
إذَا غَضَبَ أحَدُكُمْ فَقَالَ: أعُوْذُ بِالله، سَكَنَ غَضَبُهُ
“Jika salah seorang diantara kalian marah, kemudian ia mengucapkan: Aku berllindung kepada Allah, niscaya kemarahannya akan reda”[Lihat Shahihul Jami, hadits no. 1708]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda.
وَ إذَا غَضَبَ أحَدُكُمْ وَ هُوَ قَائِمٌ فَلْيَجْلِسْ، فَإِنْ ذَهَبَ عَنْهُ الغَضَبُ وَ إِلاَّ فَلْيَضْطَجِ“
Dan apabila salah seorang kalian marah sedangkan ia dalam keadaan berdiri, hendaklah ia duduk, niscaya kemarahannya akan lenyap. Jika tidak lenyap maka hendaklah ia berbaring” (Hadits shahih, lihat Shahihul Jami’ hadits no. 707)
d) Memukul Ketika Marah
Abu Mas’ud bercerita, “ Pernah ketika aku memukul budak saya dengan cemeti, aku mendengar suara dari belakang yang berkata, “ Ketahuilah wahai Abu Mas’ud ”, namun aku tidak mengenali suara tersebut karena sedang marah ”. Kemudian Abu Mas’ud melanjutkan perkataanya,” Ketika orang tersebut mendekat tenyata Rasulullah, Beliau bersabda lagi, “ Ketahuilah hai Abu Mas’ud, ketahuilah hai Abu Mas’ud”!
Abu Mas’ud berkata lagi, “ Maka kulepaskan cemetiku ”. Lantas Nabi Shallallahu alaihiwasallam bersabda, “ Ketahuilah hai Abu Mas’ud, sesungguhnya Allah lebih kuasa untuk berbuat demikian atas dirimu daripada apa yang engkau perbuat atas budak ini.” Maka aku menjawab,” Aku tidak akan memukul seorang budak pun setelah ini selama-lamanya” [H.R Muslim no. 1659]
Abu Mas’ud berkata lagi, “ Maka kulepaskan cemetiku ”. Lantas Nabi Shallallahu alaihiwasallam bersabda, “ Ketahuilah hai Abu Mas’ud, sesungguhnya Allah lebih kuasa untuk berbuat demikian atas dirimu daripada apa yang engkau perbuat atas budak ini.” Maka aku menjawab,” Aku tidak akan memukul seorang budak pun setelah ini selama-lamanya” [H.R Muslim no. 1659]
e) Berkata Buruk
Seorang pendidik harus menjauhi kata-kata buruk ataupun hinaan kepada anak didiknya. Misalnya ucapan “ setan kamu ” atau “ laknat kamu ” juga kata-kata yang bersifat celaan kepada murid. Ucapan-ucapan semacam itu sangat tidak pantas keluar dari lisan seorang pendidik, sebab akan melukai perasaan murid, menghilangkan kepercayaan dirinya, membuatnya semakin menjauh dari guru serta tidak tertarik untuk mengikuti pelajaran. Lebih jauh lagi akibatnya adalah murid akan meniru ucapan gurunya tersebut dan melontarkannya kepada temannya atau pun saudaranya. Tanggung jawab ini tentu akan kembali kepada guru yang telah mengajarkan kata-kata buruk tadi kepada anak didiknya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
…وَ مَنْ سَنَّ في الإسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعَلَيْهِ وِزْرُهُ وَ وِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْئًا
dan barangsiapa yang mencontohkan contoh kejelekan dalam islam, maka ia akan menanggung dosanya dan dosa orang-orang yang meniru perbuatannya, tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun” [H.R Muslim dan yang selainnya][14]
V. Jenis jenis hukuman yang bermamfaat
a) Memperlihatkan wajah masam untuk menunjukkan ketidak sukaan guru terhadap pelanggaran anak. Dengan demikian si anak menyadari perubahan raut wajah orangtua atau gurunya dan berusaha mengoreksi diri dari kesalahan yang tidak disukai.
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: حَشَوْتُ وِسَدَةً لِلنَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم فِيْهَا تَمَاثِيْلُ كَأَنَّهَا نُمْرُقَة فَقَامَ بَينَ البَابَيْنِ، وَ جَعَلَ يَتَغَيَّرَ وَجْهُهُ، فَقُلْتُ: ما لَنَا يَا رَسُولَ الله؟[أَتُوْبُ إلى الله مِمَّا أَذْنَبْتُ]، قَالَ: مَا بَالُ هذه الوِسَادَةِ؟ قَالَتْ: قُلْتُ: وِسِادَة جَعَلْتُهَا لَكَ لِتَضْجِعَ عَلَيْهَا، قَالَ: أَمَا عَلِمْتِ أَنَّ مَنْ صَنَعَ الصُوَرَ يُعَذَّبُ يَوْمَ القِيَامَةِ، فَيُقَالُ: أحْيُوا مَا خَلَقْتُمْ؟!
“Dari A’isyah ia berkata,” Aku membuat sebuah bantal untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalamnya terdapat gambar, lalu Beliau berdiri diambang pintu dan raut wajah Beliau berubah, aku berkata,” Ada apa ya Rasulullah? (Aku bertaubat kepada Allah atas dosa yang kukerjakan)”. Beliau bertanya,” Ada dengan bantal ini?” Aku menjawab,” Itu adalah bantal yang kubuat untukmu agar engkau bisa bersandar padanya,” Beliau berkata,” Tidakkah engkau tahu bahwa orang yang membuat gambar (makhluk hidup) akan disiksa pad hari kiamat nanti seraya dikatakan kepada mereka,”hidupkanlah apa yang telah kalian ciptakan?!” [H.R Al Bukhari (2/11 dan 4/105) dan Abu Bakr Asy Syafi’i dalam Al Fawaid 6/68]
b) Menghajr yaitu mengisolir anak dengan tidak mengajaknya berbicara serta berpaling darinya selama beberapa waktu, dengan catatan tidak boleh dari tiga hari. Karena ada larangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
عَنْ أبِي أَيُّوْب رضي الله عنه أنَّ رَسُوْلَ الله قَال لاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أنْ يَهْجُرَ أخَاه فَوْقَ ثَلاَثِ لَيَالٍ، يَلْتَقِيَانِ فَيُعْرِضُ هذا و يُعْرِضُ هذا، وَخَيْرُهُمَا الذي يَبْدَأُ بِالسَلاَم
“Dari Abu Ayyub bahwasanya Rasulullah bersabda,” Tidak halal bagi seorang muslim menghajr saudaranya lebih dai tiga hari, keduanya saling berpaling ketika bertemu, dan yang terbaik dari keduanya adalah yang memulai mengucapkan salam” [H.R Bukhari dan Muslim]
c) Perkataan Pedas.
Seorang pendidik perlu mengeluarkan kata-kata pedas kepada anak yang melakukan dosa besar, apabila nasehat serta bimbingan sudah tidak berpengaruh lagi.
d) Menggantungkan Cambuk Di Dinding Rumah.
Berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
عَلِّقُوا السَوْطَ حَيْثُ يَرَاهُ أَهْلُ البَيْتِ، فَإِنَّهُ أدَبٌ لَهُمْ
“Gantungkanlah cambuk di tempat yang bisa dilihat oleh anggota keluarga. Sesungguhnya itu akan menjadi pengajaran bagi mereka” [Hadits yang dihasankan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami’]
Berkenaan dengan hadis di atas, Ibnu Al Anbari berkata, cambuk tersebut tidak dimaksudkan untuk memukul atau mecambuk mereka (penghuni rumah), sebab Nabi tidak pernah memerintah siapapun untuk memukul dengan cambuk tersebut. Yang Beliau maksudkan adalah janganlah kamu (para orangtua) meninggalkan pengajaran terhadap mereka. Adapun sabda Nabi “Sesungguhnya itu akan menjadi pengajaran bagi mereka” , maksudnya cambuk tersebut akan menjadi pendorong bagi mereka untuk berakhlak dengan akhlak mulia dan bertingkah laku terhormat” [ Al Manawi menyebutkannya dalam Faidhul Qadiir 4/325]
e) Pukulan Ringan
Pukulan merupakan cara terakhir yang ditempuh jika cara-cara di atas tidak berhasil menyadarkan anak dari kesalahannya. Sebagaimana firman Allah yang memuat tahapan sanksi bagi istri yang durhaka kepada suaminya. Allah berfirman.
وَالاَّتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلاً إِنَّ اللهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
“Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkan mereka di tempat mereka serta pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar” [An Nisaa’: 34]
Diangkat dari kitab Nidaa’ ilal Murabbiyyin Wal Murabbiyyat karya Syaikh jamil Zainu dan kitab Fiqhut Tarbiyyatil Abna karya Syaikh Musthafa Al ‘Adawi.[15]
DAFTAR PUSTAKA
ü Langgulung, Hasan. Pendidikan dan peradaban Islam, ( jakarta: Pustaka Al-Husna, 1985)
ü Ramayulis, Samsul Nizar. Filsafat Pendidikan Islam, ( Jakarta: Kalam Mulia, 2010 )
ü Arifin, Moh. Filsafat Pendidikan Islam, ( Jakarta, Bumi Aksara, 1996 )
ü Nata, Abudin. Filsafat Pendidikan Islam, ( Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1997 )
ü Azra, Azumardi. Esai Esai Intelektual Muslim Pendidikan Islam, ( Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1999 )
ü filsafat%20pendidikan%20islam/Hukuman%20dan%20Imbalan%20sebagai%20Metode%20Pendidikan%20»%20Ustadz%20Azmi%20Ulim.htm
ü filsafat%20pendidikan%20islam/Metode%20Mendidik%20Anak%20Dengan%20Cara%20Memberi%20Penghargaan%20Dan%20Hukuman%20%20%20ridwanabd
[3] Quth Muhammad, Locc. Cit, Hal. 176
[4]Fuad, Muhammad, Op, Cit, hal. 109
[7] Azra, Azumardi, Esei-esei Intelektual Muslim Pendidikan Islam, ( Pustaka Logos: Wacana Ilmu, Ciputat, 1999 ), hal. 83
[8] Ali al – Jumbulati, Futuh At-Tuwanisi, Perbandingan Pendidikan Islam, ( Jakarta: Rineka Cipta, 1994 ), hlm. 160.
[11] Ibid, hal. 106.
[12] Ibid, hal. 108.
[13]filsafat%20pendidikan%20islam/Hukuman%20dan%20Imbalan%20sebagai%20Metode%20Pendidikan%20»%20Ustadz%20Azmi%20Ulim.htm
[14]filsafat%20pendidikan%20islam/Metode%20Mendidik%20Anak%20Dengan%20Cara%20Memberi%20Penghargaan%20Dan%20Hukuman%20%20%20ridwanabd
[15]filsafat%20pendidikan%20islam/Metode%20Mendidik%20Anak%20Dengan%20Cara%20Memberi%20Penghargaan%20Dan%20Hukuman%20%20%20ridwanabd
[16]Fuad, Muhammad, Op, Cit, hal. 109
0 komentar:
Posting Komentar