ul#list-nav { list-style:none; margin:20px; padding:0; width:525px } ul#list-nav li { display:inline } ul#list-nav li a { text-decoration:none; padding:5px 0; width:100px; background:#FF0099; color:#eee; float:left; text-align:center; border-left:1px solid #fff; -moz-border-radius: 5px; } ul#list-nav li a:hover { background:#FF6699; color:#000 -moz-border-radius: 5px; }
Selamat datang di dunia PUTERI YANG BERDURI. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Konsep Dasar Kesulitan Belajar


Siswa atau peserta didik merupakan unsur terpenting dalam suatu proses kegiatan belajar mengajar. Sebagai seorang guru yang sehari-hari mengajar di sekolah, tentunya tidak jarang harus menangani anak-anak yang mengalami kesulitan dalam belajar. Anak-anak yang sepertinya sulit sekali menerima materi pelajaran, baik pelajaran membaca, menulis, serta berhitung. Hal ini terkadang membuat guru menjadi frustasi memikirkan bagaimana menghadapi anak-anak seperti ini. Demikian juga para orang tua yang memiliki anak-anak yang memiliki kesulitan dalam belajar. Harapan agar anak mereka menjadi anak yang pandai, mendapatkan nilai yang baik di sekolah menambah kesedihan mereka ketika melihat kenyataan bahwa anak-anak mereka kesulitan dalam belajar.
Akan tetapi yang lebih menyedihkan adalah perlakuan yang diterima anak yang mengalami kesulitan belajar dari orang tua dan guru yang tidak mengetahui masalah yang sebenarnya, sehingga mereka memberikan cap kepada anak mereka sebagai anak yang bodoh, tolol, ataupun gagal.
Fenomena ini kemudian menjadi perhatian para ilmuan yang tertarik dengan masalah kesulitan belajar. Keuntungannya ialah, mereka mencoba menemukan metode-metode yang dapat digunakan untuk membantu anak-anak yang mengalami kesulitan belajar tersebut tetap dapat belajar dan mencapai apa yang diharapkan guru dan orang tua.
Dalam tulisan ini, kita akan mendapati apa sebenarnya yang dimaksud masalah kesulitan belajar, faktor apa yang menjadi penyebabnya, serta jenis kesulitan belajar.

Kesulitan belajar merupakan terjemahan istilah bahasa Inggris Learning Disability. Terjemahan tersebut, sesungguhnya kurang tepat karena learning artinya belajar dan disability artinya ketidakmampuan; sehingga terjemahan yang benar seharusnya adalah ketidakmampuan belajar. Kesulitan belajar merupakan suatu konsep multidisipliner yang digunakan di lapangan ilmu pendidikan, psikologi, maupun ilmu kedokteran. Pada tahun 1963 Samuel A. Kirk untuk pertama kali menyarankan penyatuan nama-nama gangguan anak seperti disfungsi otak minimal (minimal brain dysfunction), gangguan neurologis (neurological disorders), disleksia (dyslexia) dan afasia perkembangan (developmental aphasia). Konsep tersebut telah diadopsi secara luas dan pendekatan edukatif terhadap kesulitan belajar telah berkembang secara cepat, terutama di negara-negara yang sudah maju.
Hallan, Kauffman, dan Lyoyd (1985: 14), memberikan batasan kesulitan belajar sebagai berikut: kesulitan belajar khusus adalah suatu gangguan dalam satu atau lebih dari proses psikologis dasar yang mencakup pemahaman dan penggunaan bahasa ujaran atau tulisan. Gangguan tersebut mungkin menampakkan diri dalam bentuk kesulitan mendengarkan, berpikir, berbicara, membaca, menulis, mengeja atau berhitung. Batasan tersebut mencakup kondisi-kondisi seperti gangguan perseptual, luka pada otak, disleksia, dan afasia perkembangan. Batasan tersebut tidak mencakup anak-anak yang memiliki problema belajar yang penyebab utamanya berasal dari adanya hambatan dalam penglihatan, pendengaran atau motorik, hambatan karena tunagrahita, karena gangguan emosional atau karena kemiskinan lingkungan, budaya, atau ekonomi.
Kesulitan belajar merupakan suatu konsep multidisipliner yang digunakan di lapangan ilmu pendidikan, psikologi, maupun ilmu kedokteran. Pada tahun 1963 Samuel A. Kirk pertama kali menyarankan penyatuan nama-nama gangguan anak seperti disfungsi minimal otak (minimal brain dysfunction), gangguan neurologis (neurological disorders),  disleksia (dyslexia), dan afasia perkembangan (developmental aphasia) menjadi kesulitan belajar (Mulyono Abdurrahman,1995:9). Konsep ini diadopsi secara luas oleh berbagai disiplin ilmu dalam upaya memahami dan mendalami kesulitan belajar bagi perkembangan ilmu mereka.
Definisi kesulitan belajar pertama kali dikemukakan olehThe United States Office of Education (USOE)  pada tahun 1977, yang hampir identik dengan definisi yang dikeluarkan oleh The National Advisory Committee on Handicapped Children tahun 1967 (Mulyono Abdurrahman,1995: 9-10). Definisi tersebut berbunyi:
Kesulitan belajar khusus adalah suatu gangguan dalam satu atau lebih dari proses psikologis dasar yang mencakup pemahaman dan penggunaan bahasa ujaran atau tulisan. Gangguan tersebut mungkin menampakkan diri dalam bentuk kesulitan mendengarkan, berfikir, berbicara, membaca, menulis, mengeja, atau berhitung.
Batasan tersebut mencakup kondisi-kondisi seperti gangguan perseptual, luka pada otak, disleksia, dan afasia perkembangan. Batasan tersebut tidak mencakup anak-anak yang memiliki problema belajar yang penyebab utamanya berasal dari adanya hambatan dalam penglihatan, pendengaran atau motorik, hambatan karena tunagrahita, karena gangguan emosional, atau karena kemiskinan lingkungan, budaya, atau ekonomi.
Sedangkan The National Joint Committee for Learning Disabilities (NJCLD) (Mulyono Abdurrahman, 1995; 10-12) mengemukan definisi mengenai kesulitan belajar sebagai berikut:
Kesulitan belajar menunjuk pada sekelompok kesulitan yang dimanifestasikan dalam bentuk kesulitan yang nyata dalam kemahiran dan penggunaan kemampuan mendengarkan, bercakap-cakap, membaca, menulis, menalar, atau kemampuan dalam bidang studi matematika. Gangguan tersebut instrinsik dan diduga disebabkan oleh adanya disfungsi sistem saraf pusat. Meskipun suatu kesulitan belajar mungkin terjadi bersamaan dengan adanya kondisi lain yang mengganggu (misalnya gangguan sensoris, tunagrahita, hambatan sosial dan emosional) atau berbagai pengaruh lingkungan misalnya perbedaan budaya, pembelajaran yang tidak tepat, faktor-faktor psikogenetik, berbagai hambatan tersebut, bukan penyebab atau pengaruh langsung.
Definisi ini memiliki kelebihan dibandingkan definisi sebelumnya karena:    (1) tidak dikaitkan secara eksklusif dengan anak-anak, (2) menghindari ungkapan “proses psikologis dasar”, (3) tidak memasukkan mengeja sebagai gangguan yang terpisah dari kesulitan yang mengekspresikan bahasa tertulis, (4) menghindarkan penyebutan berbagai kondisi gangguan lain (gangguan perseptual, disleksia, disfungsi minimal otak) yang akan dapat membingungkan, dan (5) secara jelas menyatakan bahwa kesulitan belajar mungkin terjadi bersama dengan kondisi-kondisi lain.
The Board of the Association for Children  and Adulth with Learning Disabilities (ACALD) mengemukakan definisi tentang kesulitan belajar, yaitu:
Kesulitan belajar khusus adalah  suatu kondisi kronis yang diduga bersumber neurologis yang secara selektif mengganggu perkembangan, integrasi, dan/atau kemampuan verbal dan/atau non-verbal.
Kesulitan belajar khusus tampil sebagai suatu kondisi ketidakmampuan yang nyata pada orang-orang yang memiliki inteligensi rata-rata hingga superior, yang memiliki sistem  sensoris yang cukup, dan kesempatan untuk belajar yang cukup pula. Berbagai kondisi tersebut bervariasi dalam perwujudan dan derajatnya.
Kondisi tersebut dapat berpengaruh terhadap harga diri, pendidikan, pekerjaan, sosialisasi, dan/atau aktivitas kehidupan sehari-hari sepanjang kehidupan.
Meskipun terdapat perbedaan antara tiga definisi yang telah dikemukakan, akan tetapi ketiganya memiliki beberapa titik-titik kesamaan, yaitu: (1) kemungkinan adanya disfungsi neurologis, (2) adanya kesulitan dalam tugas-tugas akademik, (3) adanya kesenjangan antara prestasi dengan potensi, dan (4) adanya pengeluaran dari sebab-sebab lain.
Definisi lainnya dikemukakan oleh The National Joint Committee for Learning Disabilities (NJCLD), bahwa kesulitan belajar menunjuk pada sekelompok kesulitan yang dimanifestasikan dalam bentuk kesulitan yang nyata dalam kemahiran dan penggunaan kemampuan mendengarkan, bercakap-cakap, membaca, menulis, menalar atau kemampuan dalam bidang studi matematika. Gangguan tersebut intrinsik dan diduga disebabkan oleh adanya disfungsi sistem saraf pusat. Meskipun suatu kesulitan belajar mungkin terjadi bersamaan dengan adanya kondisi lain yang mengganggu (misalnya gangguan emosional) atau berbagai pengaruh lingkungan (misalnya perbedaan budaya, pembelajaran yang tidak tepat, faktor psikogenik), berbagai hambatan tersebut bukan penyebab atau pengaruh langsung.
Menurut Hammil et al, definisi yang dikemukakan oleh NJCLD tersebut memiliki kelebihan-kelebihan bila dibandingkan dengan definisi yang dikemukakan dalam Public Law (PL) 94-142. Kelebihan-kelebihan tersebut adalah karena (1) tidak dikaitkan secara eksklusif dengan anak-anak; (2) menghindari ungkapan “proses psikologis dasar”; (3) tidak memasukkan mengeja sebagai gangguan yang terpisah dari kesulitan mengekspresikan bahasa tertulis; (4) menghindarkan penyebutan berbagai kondisi gangguan lain (misalnya gangguan perseptual, disleksia, disfungsi otak minimal) yang akan dapat membingungkan; dan (5) secara jelas menyatakan bahwa kesulitan belajar mungkin terjadi bersamaan dengan kondisi-kondisi lain.
Meskipun definisi yang dikemukakan oleh NJCLD memiliki kelebihan bila dibandingkan dengan definisi yang dikemukakan oleh The Board of The Association for Chlidren and Adulth with Learning Disabilities (ACALD) tidak menyetujui definisi tersebut, dan karena itu mereka mengemukakan definisi seperti yang dikutip oleh Lovitt (189: 7), sebagai berikut:
Kesulitan belajar khusus adalah suatu kondisi kronis yang diduga bersumber dari neurologis yang secara selektif mengganggu perkembangan, integrasi, dan atau kemampuan verbal dan atau non verbal. Kesulitan belajar khusus tampil sebagai suatu kondisi ketidakmampuan yang nyata pada orang-orang yang memiliki intelegensi rata-rata hingga superior, yang memiliki sistem kesulitan belajar.
Kesulitan belajar merupakan kekurangan yang tidak nampak secara lahiriah. Ketidak mampuan dalam belajar tidak dapat dikenali dalam wujud fisik yang berbeda dengan orang yang tidak mengalami masalah kesulitan belajar.
  Faktor-faktor Penyebab Kesulitan Belajar
Seringkali gejala-gejala kesulitan belajar yang nampak pada seorang anak disebabkan oleh faktor-faktor yang berlainan dengan anak lain yang memperlihatkan gejala-gejala yang sama. Misalnya dua orang anak kelas tiga selalu merepotkan guru dan teman-teman sekelas mereka, karena seringkali berbicara di dalam kelas, berjalan-jalan di dalam kelas, mencolek-colek atau mendorong teman-teman sekelas yang duduk berdekatan dengan mereka. Kedua anak tersebut dikenal sebagai “hyperactive”. Mereka jarang duduk tenang. Tetapi apabila kedua kasus itu diperiksa secara teliti, maka akan nyata bahwa yang menyebabkan tingkah laku itu berbeda bagi seorang anak dengan anak yang lain. Anak yang pertama itu, bila diperiksa secara seksama akan terdapat bahwa ia menderita alergi fisik (“physical allergy”). Ia alergi terhadap bahan-bahan kimia tertentu yang dipakai dalam makanannya agar nampak lebih menarik dan lebih tahan lama. Misalnya pewarna (“the dyes”) yang dipergunakan dalam minuman ringan (soda) dan gula adalah bahan yang menimbulkan anak itu reaksi alergi. Tambahan pula dokter menemukan bahwa darah anak tersebut menjadi sangat tinggi kadar gulanya setelah ia makan gula-gula dan minuman ringan yang manis. Hal ini mendadak menambah energi anak itu. Tetapi sebentar kemudian gula dalam darah itu habis terpakai dan kadar gulanya menurun banyak, sehingga anak  tersebut menjadi cepat tersinggung (marah), ia tidak dapat memsatkan perhatiannya terhadap pelajaran. Karena itu ia lalu berbuat gaduh dalam kelas, mengganggu anak-anak lain dan mondar-mandir di dalam kelas.
Sebaliknya, anak kedua yang sama-sama menampakkan gejala “hyperactive” mempunyai alasan yang berlainan. Anak ini mempunyai enam saudara. Antara ayah dan ibu mereka tidak  terdapat keserasian. Ibu marah terhadap ayah, karena tidak mau mencari pekerjaan yang menghasilkan uang banyak. Karena itu ibu seringkali menuduh ayah senang hidup melarat. Sebaliknya ayah mencela ibu, karena tidak memelihara kebersihan rumah dan anak-anak. Kadang-kadang ayah satu malam tidak pulang dan ketika esok harinya pulang, istrinya menuduhnya berlaku serong dengan wanita lain. Dengan perkataan lain di dalam keluarga itu selalu terdapat ketegangan  emosional (“emotional tension”). Pertentangan antara orang tua menyebabkan anak-anak tidak merasa aman dan tidak mengetahui apa yang terjadi pada hari esok. Maka anak-anak itu sering berkelahi satu sama lain. Suasana rumah demikianlah yang dibawa oleh anak tersebut ke sekolah. Selama sekolah ia sulit untuk memusatkan perhatiannya terhadap pelajaran sekolah ia sulit untuk memusatkan perhatiannya terhadap pelajaran seperti mathematik dan IPS disebabkan ia terus-menerus merasa cemas kalau-kalau orang tuanya berkelahi bila ia pulang, atau kalau-kalau ayahnya pergi terus tidak pulang lagi, seperti yang sering diucapkannya untuk menakut-nakuti. Anak tersebut terus-menerus tertekan akan pikirannya, tidak mau tetap di tempat duduknya, tetapi mondar-mandir di dalam kelas. Kadang-kadang rasa tidak aman itu diekspresikan dalam bentuk mengganggu atau mencela teman-teman sekelasnya. Demikianlah, seperti contoh dua orang siswa kelas tiga yang “hyperactive” itu, maka gejala-gejala yang sama mengenai tingkah laku atau kesulitan belajar kemungkinan merupakan akibat dari pada faktor-faktor yang berbeda-beda antara seorang anak dan anak lain. Pendiagnosa yang bijaksana menyadari kenytaan tersebut dan tidak akan segera menarik kesimpulan bahwa suatu pola kesulitan belajar tentu sebagai akibat sebab yang sama bagi setiap siswa.
Konselor yang berpengalaman lebih mempertimbangkan berbagai sebab yang mungkin menimbulkan suatu pola gejala-gejala tertentu dan selanjutnya ia memeriksa dengan seksama untuk menemukan manakah di antara berbagai sebab itu yang rupa-rupanya paling mungkin bagi seorang anak tertentu.[3]
Untuk jelasnya maka kemungkinan-kemungkinan faktor penyebab kesulitan belajar dikelompokkan menjadi empat kategori, yaitu:
1.        Kondisi-kondisi fisiologis yang permanen
a.         Inteligensi yang terbatas
Mungkin seorang siswa kemampuan intelektualnya kurang yang diperlukan untuk dapat menguasai konsep-konsep pelajaran yang abstrak dengan kecepatan yang sama seperti teman-teman sekelasnya. Hal ini dapat juga dipakai dalam mempertimbangkan keterbatasan perbendaharaan kata yang dimilikinya dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.

b.         Hambatan penglihatan dan pendengaran
Seorang siswa mungkin kurang baik penglihatan dan pendengarannya, sehingga ia salah menafsirkan bahan bacaan dan tidak dapat mendengar semua yang diterangkan oleh guru.

c.         Masalah persepsi
Barang kali seorang siswa dapat melihat dan mendengarkan secara jelas, tetapi ketika perangsang penglihatan atau pendengaran sampai pada otaknya terganggu oelh mekanisme penafsiran atau persepsi “images” itu, sehingga ia salah menafsirkan informasi yang diperolehnya. Suatu gangguan yang ringan saja dalam hal ini sudah cukup untuk mempertimbangkan taraf kesulitan belajarnya.

2.        Kondisi-kondisi fisioligis temporer
a.         Masalah makanan
Kemungkinan pula seorang siswa kekurangan vitamin, kuarng cukup protein, mineral atau substansi lain yang diperlukan. Barang kali anak ini mempunyai masalah darah yang mengandung gula, karena ia terlalu banyak makan manis-manis; mula-mula tubuhnya dengan cepat menghabiskan gula itu yang akibatnya kadar gula dalam darahnya menurun sampai di bawah normal dan akhirnya anak itu merasa capai serta tidak dapat memusatkan perhatiannya. Hal ini sesuai pula dengan kebiasaannya sering melamun dan menundukkan kepalanya di atas bangku.

b.      Kecanduan (“Drugs”)
Seorang siswa boleh jadi mencoba “candu” atau minuman keras yang berasal dari teman-temannya, sehingga sekarang ia merasa ketagihan. Dalam minggu-minggu terakhir rasa ketagihannya itu bertambah besar, sehingga ia tidak dapat memusatkan perhatiannya, tidak dapat menyelesaikan pekerjaan rumah dan sulit untuk memahami konsep-konsep baru.

c.       Kecapekan
Anak itu kemungkinan hanya kurang tidur waktu malam.

3.         Kondisi-kondisi lingkungan sosial yang permanen
a.       Harapan orang tua tinggi
Ayah seorang siswa jelas mengharapkan agar anaknya berhasil sekolahnya. Tetapi kenyataannya seorang siswa mungkin tergolong anak yang taraf intelligensinya mendekati rata-rata. Mungkin anak tersebut telah berusaha agar berhasil, tetapi hal itu tidak memuaskan ayahnya; ayahnya menakut-nakutinya dan mendesaknya agar ia berusaha lebih kuat lagi yang sebenarnya ia tidak mampu. Karena tertekan itu kemungkinan seorang siswa menjadi benci terhadap ayahnya. Sebagai akibatnya, baik disadari atau tidak anak itu mungkin lalu berlaku tidak baik di sekolah dengan maksud untuk membalas ayahnya. Dengan perkataan lain karena keberhasilan seorang siswa tersebut di sekolah sedemikian pentingnya bagi rencana ayahnya, maka berlaku buruk di sekolah merupakan suatu jalan bagi seorang siswa untuk menghukum atau menyerang ayahnya, walaupun anak itu mungkin tidak menyadari bahwa hal tersebut merupakan motif yang mendasari tingkah lakunya.

b.      Konflik keluarga
Kemungkinan tidak ada kesepakatan di antara orang tua seorang siswa tersebut. Mungkin suasana rumah itu ramai; selain saudara-saudara sekandung siswa tersebut tinggal pula di rumah itu bibi atau pamannya. Anak itu mungkin tidak dapat memperoleh ketenangan untuk memikirkan kehidupannya sendiri, yang bebas dari pertengkaran-pertengkaran, agar dapat memusatkan perhatian dengan tenang terhadap mata pelajaran tertentu yang menurutnya sulit itu.

4.         Kondisi-kondisi lingkungan yang temporer
a.       Ada bagian-bagian dalam urutan belajar yang belum dipahami
Seperti bidang mathematik lain, aljabar terdiri dari sebuah seri konsep-konsep, di mana sebuah konsep diperlukan sebagai dasar konsep berikutnya dalam urutan itu.  Bila anda kehilangan konsep yang penting, boleh jadi anda tidak dapat menangkap konsep-konsep berikutnya dan oleh karena itu anda sangat bingung serta akan merosot prestasi anda.

b.      Persaingan interes
Bagi seorang siswa boleh jadi tidak begitu penting menguasai aljabar bila dibandingkan dengan inters-interes lain dalam kehidupannya. Dengan perkataan lain ia tidak memiliki motif yang cukup kuat.
Menurut Burton, sebagaimana dikutip oleh Abin S.M. (2002 : 325-326), faktor-faktor yang menyebabkan kesulitan belajar individu dapat berupa faktor internal, yaitu yang berasal dari dalam diri yang bersangkutan, dan faktor eksternal, adalah faktor yang berasal dari luar diri yang bersangkutan.

1.        Faktor Internal
Yang dimaksud dengan faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam diri mahasiswa. Faktor ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu faktor kejiwaan dan faktor kejasmanian.
a)        Faktor kejiwaan, antara lain:
ü  minat terhadap mata kuliah kurang;
ü  motif belajar rendah;
ü  rasa percaya diri kurang;
ü  disiplin pribadi rendah;
ü  sering meremehkan persoalan;
ü  sering mengalami konflik psikis;
ü  integritas kepribadian lemah.

b)        Faktor kejasmanian, antara lain:
ü  keadaan fisik lemah (mudah terserang penyakit);
ü  adanya penyakit yang sulit atau tidak dapat disembuhkan;
ü  adanya gangguan pada fungsi indera;
ü  kelelahan secara fisik.

2.        Faktor Eksternal
Yang dimaksud dengan faktor eksternal adalah faktor yang berada atau berasal dari luar mahasiswa.
a)        Faktor instrumental
Faktor-faktor instrumental yang dapat menyebabkan kesulitan belajar mahasiswa antara lain:
ü  Kemampuan profesional dan kepribadian dosen yang tidak memadai;
ü  Kurikulum yang terlalu berat bagi mahasiswa;
ü  Program belajar dan pembelajaran yang tidak tersusun dengan baik;
ü  Fasilitas belajar dan pembelajaran yang tidak sesuai dengan kebutuhan.


b)        Faktor lingkungan
Faktor lingkungan meliputi lingkungan sosial dan lingkungan fisik. Penyebab kesulitan belajar yang berupa faktor lingkungan antara lain:
ü  Disintegrasi atau disharmonisasi keluarga;
ü  Lingkungan sosial kampus yang tidak kondusif;
ü  Teman-teman bergaul yang tidak baik;
ü  Lokasi kampus yang tidak atau kurang cocok untuk pendidikan.
Setiap siswa pada prinsipnya tentu berhak memperoleh peluang untuk mencapai kinerja akademik (academic performance) yang memuaskan.Namun dari kenyataan sehari-hari tampak jelas bahwa siswa itu memiliki perbedaan dalam hal kemampuan intelektual, kemampuan fisik, latar belakang keluarga, kebiasaan dan pendekatan belajar yang terkadang sangat mencolok antara seorang siswa dengan siswa lainnya.[5]
Selain itu, kesulitan belajar juga dapat dialami oleh siswa yang berkemampuan rata-rata (normal) disebabkan oleh faktor-faktor yang menghambat tercapainya kinerja akademik yang sesuai dengan harapan.[6]

Jenis Kesulitan Belajar
Jenis kesulitan belajar ini dapat dikelompokkan menjadi tiga macam, yaitu sebagai berikut:
*        Dilihat dari jenis kesulitan belajar:
̴    Berat, dan
̴    Sedang

*        Dilihat dari bidang studi yang dipelajari: 
̴    Sebagian bidang studi yang dipelajari, dan
̴    Keseluruhan bidang studi.

*        Dilihat dari sifat kesulitannya:
̴    Permanen / menetap, dan
̴    Sementara[7]

Jenis-jenis Kesulitan Belajar Darsono (2000:41) dalam bukunya Belajar dan Pembelajaran menyatakan terdapat beberapa jenis-jenis kesulitan belajar di antaranya:
1)    Learning Disorder
Mengandung makna suatu proses belajar yang terganggu karena adanya respon-respon tertentu yang bertentangan atau tidak sesuai. Gejala semacam ini kemungkinan dialami oleh siswa yang kurang berminat terhadap suatu mata pelajaran tertentu, tetapi harus mempelajari karena tuntutan kurikulum.

2)    Learning Disability
Kesulitan ini berupa ketidakmampuan belajar karena berbagai sebab. Penyebabnya beraneka ragam, mungkin akibat perhatian dan dorongan orang tua yang kurang mendukung atau masalah emosional dan mental.

3)    Learning Disfunction
Gangguan belajar ini berupa gejala proses belajar yang tidak berfungsi dengan baik karena adanya gangguan syaraf otak sehingga terjadi gangguan pada salah satu tahap dalam proses belajarnya.

4)    Slow Learner atau siswa lamban
Siswa semacam ini memperlihatkan gejala belajar lambat atau dapat dikatakan proses perkembangannya lambat.

5)    Under Achiever
Siswa semacam ini memiliki hasrat belajar rendah di bawah potensi yang ada padanya. Kecerdasannya tergolong normal, tetapi karena sesuatu hal, proses belajarnya terganggu sehingga prestasi belajar yang diperolehnya tidak sesuai dengan kemampuan potensial yang dimilikinya.[8]

  















  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar