1) Biografi Ibnu Sina dan Karya-Karya Ibnu Sina
1. Biografi Ibnu Sina
Nama lengkap Ibnu Sina adalah Abu ‘Ali Al-Husein ibn Abdullah ibn Hasan ibnu ‘Ali ibn Sina. Di Barat populer dengan sebutan Avicenna akibat terjadinya metamorfose Yahudi- Spanyol-Latin. Dengan lidah Spanyol kata ibnu diucapkan Aben atau Even. Terjadinya perubahan ini berawal dari usaha penerjemahan naskah-naskah Arab ke dalam bahasa Latin pada pertengahan abad ke-12 di Spanyol.[1]
Ibnu Sina dilahirkan di Afsyanah dekat Bukhara, Transoxiana (Persia Utara) pada tahun 370 H/ 980 M dan meninggal dunia pada tahun 1037M/ 428 H dalam usia 58 tahun. Jasadnya dikebumikan di Hamadzan. Beliau pergi setelah menyumbangkan banyak hal kepada khazanah keilmuan umat manusia dan namanya akan selalu dikenang sepanjang sejarah. Ayahnya berasal dari kota Balakh kemudian pindah ke Bukhara pada masa raja Nuh ibn Manshur dan diangkat oleh raja sebagai penguasa di Khazimaitsan, satu wilayah dari kota Bukhara. Di kota ini, Ayahnya menikahi Sattarah dan mendapat tiga orang anak yaitu Ali, Husein(Ibnu Sina), dan Muhammad. Ibnu Sina adalah contoh dari peradaban besar Iran di zamannya.
Ibnu Sina yang berasal dari keluarga bermadzhab Ismailiyah sudah akrab dengan pembahasan ilmiah terutama yang disampaikan oleh ayahnya. Kecerdasannya yang sangat tinggi membuatnya sangat menonjol sehingga salah seorang guru menasehati ayahnya agar Ibnu Sina tidak terjun ke dalam pekerjaan apapun selain belajar dan menimba ilmu.
Ibnu Sina sejak usia muda telah menguasai beberapa disiplin ilmu seperti matematika, logika, fisika, kedokteran, astronomi, hukum, dan lain-lainnya, bahkan dallah hafal al-Qur’an usia sepuluh tahun ia telah hafal Al-Qur’an seluruhnya. Ketika genius ini berusia 17tahun dengan kepintaran yang sangat mengagumkan, Ia telah mamahami selurh teori kedokteran yang ada pada saat itu dan melebihi siapapun juga. Karena kepintarannya ini, Ia diangkat sebagai konsultan dokter-dokter praktisi. Peristiwa ini terjadi ketika ia berhasil mengobati pangeran Nuh Ibnu Manshur yang sebelumnya tidak seorang dokter pun mampu menyembuhkannya. Ia juga pernah diangkat menjadi menteri oleh Sultan Syams Al-Dawlah yang berkuasa di Hamdan.[2]
Diantara guru yang mendidiknya ialah Abu ‘Abd Allah Al-Natili dan Ismail sang zahid. Karena kecedasan otaknya yang luar biasa ia dapat mengasai semua ilmu yang di ajarkan kepadanya dengn sempurna bahkan melebihi sang guru. Setelah guru-gurunya kewalahan, Ibn Sina menjadi bingung mencari tempat untuk memuaskan kehausan belajarnya yang tidak kunjung terpenuhi. Telah disebutkan, karena keberhasilannya mengobati Pangeran Nuh Ibnu Manshur, Ibnu Sina diberi kebebasan belajar di perpustakaan Istana, Kutub Khana. Di sinilah ia melepaskan dahaga belajarnya siang malam sehingga semua ilmu pengetahuan dapat dikuasainya denga sempurna.
Keberhasilan Ibnu Sina didukung oleh minat belajarnya yang luar biasa dan kegeniusan otaknya, di samping adanya kebebasan yang diberikan para penguasa. Ibnu Sina secara tidak langsung berguru pada al-Farabi, bahkan Dalam otobiografinya disebutkan tentag utang budinya kepada guru kedua ini. Hal ini terjadi ketika ia kesulitan untuk memahami metafisika Aristoteles, sekalipun telah ia baca sebanyak 40 kali dan hampir hafal diluar kepala. Akhirnya, ia tertolong berkat bantuan risalah kecil Al-Farabi. Anekdot ini juga dapat diartikan bahwa Ibnu sina adalah seorang pewaris Filsafat Neoplatonisme Islam yang dikembangkan Al-Farabi. Dengan istilah lain, Ibnu Sina adalah pelanjut dan pengembang filsafat Yunani yang sebelumnya telah dirintis Al-Farabi dan dibukakan pintunya oleh Al-Kindi.
Atas keberhasilan Ibnu Sina dalam mengembangkan pemikiran filsafat sehingga dapat dinilai bahwa filsafat ditangannya telah mencapai puncaknya dan karena prestasinya itu ia berhak memperoleh gelar kehormatan dengan sebutan al Syikh al-Rais’(Kiyahi Utama). Sebagai pemikir inovatif dan kreatif pada umumnya, Ibnu Sina tidak terlepas dari cobaan yang menimpa dirinya. Ketika pustaka Istana Kutub Khana terbakar, Ia dituduh membakarnya supaya orang lain tidak dapat menguasai ilnu yang ada disana. Cobaan lain bahwa ia pernah dipenjarakan oleh putra Al-Syams Al-Dawlah, haya semata-mata kedengkian atau ketidak senangnnya. Setelah beberapa bulan, ia dapat meloloskan diri dari penjara dan lari ke Isfahan dan disambut oleh amirnya dengan segala kehormatan. Di kota inilah ia mengabdikan dirinya sampai akhir hayatnya.
2. Karya-Karya Ibnu Sina
Ibnu Sina walaupun dia di sibukkan oleh kegiatan politik namun, Ia adalah seorang penulis yang produktif yang menyebabkan ia mampu menulis 450 buku pada beberapa pokok bahasan besar yang sangat berpengaruh terhadap generasi sesudahnya, baik di dunia barat maupun di dunia timur. Banyak diantaranya memusatkan pada filosofi dan kedoktera. Dimasanya Ibnu Sina banyak dianggap orang sebagai “Bapak kedokteran modern” Karena kepintarannya dalam membahas bidang kesehatan. Ia sangat berjasa bagi para ilmuwan, dengan karya-karyanya yang berguna. Adapun diantara karya tulisnya yang terkenal yaitu:
1. As-syifa, latinnya Sanatio (penyembuhan), ensiklopedia yang terdiri dari 18 jilid. Ini merupakan buku filsafat yang terpenting dan terbsesar terdiri dari 4 bagian, yaitu logika, fisika, matematika, dan metafisika (ketuhanan). Buku tersebut mempunyai beberapa naskah yang tersebar di berbagai perpustakaan Barat dan Timur. Bagian Ketuhanan dan fisika pernah dicetak dengan cetakan batu di Teheran. Pada tahun 1956 Lembaga Keilmuan Cekoslowakia di Praha menerbitkan pasal keenam dari bagian Fisika yang khusus mengenai ilmu jiwa, dengan terjemahannya ke dalam bahasa Prancis, di bawah asuhan Jean Pacuch. Bagian logika diterbitkan di Kairo pada tahun 1954, dengan nama Al Burham, di bawah asuhan Dr. Abdurrahman Badawi.[3]
2. An-Najah, Latinnya Salus (penyelamat). Buku ini merupakan ringkasan buku As-syifa’ dan pernah diterbitkan bersama-sama dengan buku Al Qanun dalam ilmu kedokteran pada tahun 1593 M. Di Roma dan pada tahun 1331 H di Mesir. Karya ini di tujukan khusus untuk kelompok terpelajar yang ingin mengetahui dasar-dasar ilmu hikmah secara lengkap.
3. Al-Qanun fi al-Thibb atau Canon of medicine ensiklopedi medis dan setelah diterjemahkan ke dalam bahasa latin menjadi buku pedoman pada universitas-universitas di Eropa sampai Abad XVII. Buku ini berisikan ilmu kedokteran yang terbagi atas lima kitab dalam berbagai ilmu dan berjenis-jenis penyakit dan lainnya. Menurut penyebutan orang-orang Barat. Buku ini pernah dirjemahkan ke dalam bahasa Latin dan pernah menjadi buku standard untuk universitas-universitas di Eropa, samapai akhir abad ke 17M. Buku tersebut pernah diterbitkan di Roma tahun 1593 M dan di India tahun 1323 H.[4]
4. Al- Hikmat Al-Masyriqiyyah, buku ini banyak di bicarakan orang karena tidak jelasnya maksud judul buku dan naskah-naskahnya yang masih ada memuat bagian logika. Ada yang mengatakan bahwa isi buku tersebut mengenai tasawuf. Tetapi menurut Carlos Nallino, berisi filsafat Timur sebagai imbangan dari filsafat Barat.
5. Al-Isyarat wa al-Tanbihat(isyarat dan peringatan), buku ini adalah buku yang isinya mengandung uraian tentang logika dan hikmah. Buku ini terakhir dan yang paling baik dan pernah di terbitkan di leiden pada tahun 1892 dan sebagiannya diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis. Kemudian diterbitkan di Kairo pada tahn 1947 di bawah asuhan Dr. Sulaiman Dunia.
6. Hidayah al-Rais li al-Amir
7. Risalah fi al-Kalam ala al-Nafs al-Nathiqiyah
8. Al-Manthiq al-Masyriqiyyin (Logika Timur).
Kemudian risalah-risalah lainnya kebanyakan dalam lapangan filsafat, etika, logika, dan psikologi. Seperti risalah itsbat an Nubuwwah li Ibnu Sina (risalah tentang peneguhan kenabian), Hadiyat Ar Rais ila al Amir (hadiah Ibnu Sina kepada Amir). Kitabnya yang terakhir adalah mengupas masalah jiwa. Oleh karena itu Ia juga membuat beberapa syair yang mengungkapkan filsafatnya denga tidak terlepas dari masalah jiwa.
2) Pemikiran Filsafatnya
- Al-Tawfiq (Rekonsiliasi) antara Agama dan Filsafat
Sebagaimana Al-Farabi, Ibnu Sina juga mengusahakan pemaduan (rekonsiliasi) antara agama dan filsafat. Menurunya nabi dan filosof menerima kebenaran dari sumber yang sama, yakni Malaikat Jibril yang juga disebut Akal kesepuluh atau akal aktif. Perbedaannya hanya terletak pada cara memperolehnya, bagi Nabi terjadinya hubungan dengan malaikat jibril malalui akal materiil yang dayanya jauh jauh lebih kuat daripada akal materiil yang disebut hads (kekuatan suci, qudsinya), Sedangkan filosof melalui Akal mustafad yang dayanya jauh lebih lebih rendah daripada daripada akal materiil melalui latihan berat. Pengetahuan yang diperoleh filosof hanya dalam bentuk ilham, tetapi antara kedanya tidaklah bertentangan.
Ibnu Sina, sebagaimana Al-Farabi juga memberikan ketegasan tentang perbedaan antara para Nabi dan para filosof. Mereka yang disebut pertama, menurutnya adalah manusia pilihan Allah dan tidak ada peluang bagi manusia lain untuk mengusahakan dirinya jadi Nabi. Sementara itu, mereka yang disebut kedua adalah manusia yang mempunyai intelektual yang tinggi dan tidak bisa menjadi Nabi
- Wujud
Ibnu Sina tentang wujud, sebagaimana para filosuf muslim terdahulu. Dari Tuhanlah kemaujudan yang mesti, mengalir intelegensi pertama, sendirian karena hanya dari yang tunggal, Yang mutlak, sesuatu dapat mewujud. Tetapi sifat intelegensi pertama itu tidak selamanya mutlak satu, karena ia bukan ada dengan sendirianya. Ia hanya mungkin dan kemungkinannya itu diwujudkan oleh Tuhan. Berkat kedua sifat itu, yang sejak saat itu melengkupi seluruh ciptaan yang di dunia, intelegensi pertama memunculkan dua kemaujudan yaitu: 1) intelegensi kedua melalui kebaikn ego tertinggi dari adanya aktualitas, dan 2) lingkungan pertama dan tertinggi berdasarkan segi terendah dari adanya, kemungkinan alamiahnya. Kedua prose pemancaran ini berjalan terus sampai kita mencapai intelegensi kesepuluh yang mengatur dunia ini, yang oleh kebanyakan filosof muslim disebut malaikat jibril.
Kami mengatakan bahwa Tuhan, dan hanya Tuhan saja yang memiliki wujud tunggal, secara mutlak, sedang segala sesuatu yang lain memiliki kodrat yang mendua. Karena ketunggalanya, maka apakah Tuhan itu dan kenyataan bahwa Ia ada, bukanlah dua unsure dalam satu wujud tetapi satu unsure atomic dalam wujud yang tunggal.
- Teori Fisika
Kajian yang dikemukakan Ibnu Sina dalam masalah ini adalah bersifat teori, dan obyeknya adalah benda yang wujud, dimana Ia terdapat dalam perubahan, dian dan bergerak. Ilmu fisika mempunyai beberapa dasar yang hanya bias diketahui oleh orang yang mendalami ilimu Ketuhanan. Sebagai dasar-dasar itu adalah:
- Benda (maddah), surah (form), dan tiada (adam)
Setiap benda yang tersusun memiliki tiga unsure , yaitu bendanya surah dan tiada. Teori inidari Aristoteles yang di transfer Ibnu Sina dengan mengatakan bahwa benda alam terdiri dari amaddah (bendanya) sebagai tempat dan dari surah sebagai perkara yang bertempat padanya. Hbungan benda dengan surah sama dengan hubungan perak dengan patung. Jadi benda alam mempunyai tambahan (perkara yang mengikutinya). Yaitu arah’ (sifat-sifat, seperti gerak, diam, dan lain-lain)
- Gerak dan diam
Gerak adalah pergantian keadaan yag menetap pada benda sedikit demi sedikit, dengan menuju kepada suatu arah yang tertentu. Demikian kata Ibnu Sina, Ia menambahkan bahwa tiap-tiap gerak terdapat perkara yang bisa bertambah atau berkurang, sedang jauhar (benda-benda kecil atau atom) tidak demikian keadaanya(tidak mengenal gerak). Dengan demikian kejadian jauhar dan kemusnahannya tidak merupakan gerak, belajarsesuatu yan terjadi dengan sekaligus. Atau perpindahan dari satu tempat ketempat lain adalah gerak.
- Waktu atau zaman
Zaman adalah ukuran atau kadar gerak yang bundar, dari segi maju mundurnya. Apabila zaman itu adalah ukuran gerk sedangkan zaman itu bukan baru (dari segi zaman) maka artinya erak itu bukan hal yang baru. Definisi Ibnu Sina ini adalah sama dengan apa yang dikemukakan oleh aristoteles.
Zaman tidak dijadikan dalam proses waktu, melainka kejadian tersebut adalah sebagai ibda’ (ciptaan), dimana penciptanya tidak mendahuluinya dari segi tingkatan dan martabat.
- Tempat, kekosongan, terbatas, dan tidak terbatas
Tempat adalah sesuatu yang di dalamnya terdapat suatu benda. Jadi tempat itu meliputi benda itu, memuatnya, terpisah dari padanya, ketika terjadi suatu gerakan dan sama (seimbang) dengan benda tersebut. Kemudian dalam soal kekosongan, Ibnu Sina juga mengikuti Aristoteles yang tidak membenarkan adanya kekosongan, sebagaimana ia mengingkari adanya keterbatasan (kadar) yang tidk terhingga atau adanya bilangan yang tidak berakhir atupun gerak yang tidak berpangkal.[5]
- Jiwa
Filosuf yang memperhatikan masalah jiwa sejak mulai Plato, sebagaimana ia mengemukakan tentang keabadian jiwa. Kemudian dalam Enneadesnya Plotinus yang tak ketinggalan membicarakan masalah jiwa. Dibandingkan dengan filosuf lainnya yang membahas tentang hakikat jiwa, perhatian Ibnu Sina lebih serius karena ia menulis masalah jiwa semenjak usia muda. Sebelum Ibnu Sina membahas masalah jiwa terdapat tokoh filosuf yang membicarakan masalah jiwa salah satunya adalah Aristoteles yang banyak mempengaruhi pemikiran Ibnu Sina. Dialah yang banyak memberikan sumbangan besar dalam pembentukan pemikira-pemikiran Ibnu Sina. Meski demikian, secara detail psikologis Ibnu Sina berbeda denga apa yang dikatakan oleh Aristoteles bahwa dalam Jiwa itu ada aspek fisik dan aspek metafisik. Psikologi fisik versi Ibnu Sina diwarnai dengan orientasi experimental dan lebih banyak dipengaruhi oleh teori kedokteran. Sedang dalam psikologi metafisik terdapat pendalaman dan pembaharuan yang hampir sama dengan filosuf modern. Dan segi metafisik ini yang lebih menonjol dalam pembahasan-pembahasan kejiwaannya.
Ibnu Sina merupakan seorang psikolog yang mempunyai kecenderungan lebih kuat di bidangmetafisika. Menurut Ibnu Sina filsafat itu terbagi dalam ilmu teoritis dan ilmu praktis. Yang termasuk dalam ilmu teoritis adalah fisika, matematika, dan metafisika. Sedang yang dalam ilmu praktis adalah etika, tata rumah tangga, dan politik. Ibnu Sina menempatkan ilmu jiwa dalam ilmu teoritis dan dimasukkan pada ilmu alam. Psikologi menurut Ibnu Sina pada dasarnya adalah studi posfistik eksperimental.[6] Kemudian ia membagi segi-segi kejiwaan kepada dua, yaitu:
a) Segi Fisika
Yang membicarakan tentang macam-macamnya jiwa, pembagian kebaikan-kebaikan, jiwa manusia, indera, dan lain-lain serta pembahasan-pembahasan lain yang biasa termasuk dalam pengertian ilmu jiwa yang sebenarnya.
b) Segi Metafisika
Yang membicarakan tentang wujud dan hakikat, pertalian jiwa dengan badan, dan keabadian jiwa. Hnaya metafisika yang akan dibicarakan berikut ini. Khususnya yang mengenai dalil-dalil wujud jiwa.
Untuk membuktikan adanya jiwa, Ibnu Sina mengajukan beberapa argumen yakni 1) argumen psikofisik, 2) argumen “Aku” dan kesatuan fenomena psikologis, 3) argumen kontinuitas, dan 4) argumen manusia terbang di udara. Untuk pembuktian yang pertama, Ibnu Sina mengatakan gerak dapat dibedakan kepada gerak terpaksa, yaitu gerak yang di dorong unsur Luar dan gerak tidak terpaksa yaitu Gerak yang terjadi sesuai dengan hukum alam seperti jatuhnya batu dari atas ke bawah, ada pula yang menentang hukum alam seperti manusia berjalan di kulit bumi. Gerak yang menentang hukum alam ini tentu ada penggerak tertentu di Luar unsur tubuh itu sendiri. Inilah yang dinamakan Jiwa oleh Ibnu Sina.[7] Untuk pembuktian yang kedua Ibnu Sina membedakan Akusebagai Jiwa dan badan sebagai alat. Ketika seseorang berkata dia akan tidur, maksudnya bukan Ia yang pergi ketempat tidur tau memejamkan mata tetapi seluruh pribadi yang merupakan aku. Menurut Ibu Sina Aku bukanlah fenomena fisik tetapi adalah jiwa dan kekuatannya.
Kekuatan jiwa itu menimbulkan fenomena yang berbeda-beda, seperti suka-sedih, benci-cinta,dan sebagainya. Semua fenomena itu merupakan satu kesatuan dimana perlu jiwa untuk mempersatukan fenomena yang bebeda supaya timbul keserasian.Bila fenomena psikologis mengharuskan adanya asal sebagai sumbernya, tentu tidak bisa diletakkan bahwa jiwa itu ada. Dalam pembuktian ketiga, Ibnu Sina mengatakan bahwa hidup rohaniah kita hari ini berkaitan dengan hidup kita kemarin. Jadi, hidup itu adalah berbah dalam satu untaian yang tidak putus-putus. Untuk membuktikan jiwa itu tidak putus Ibnu Sina mambandingkan antara jiwa dan badan. Badan kalau tidak diberi makan dalam waktu tetentu akan berkurang beratnya karena badan mengalami penyusutan, sedangkan jiwa tetap tetap tidak berubah. Adapun pembuktian yang keempat, Ibnu Sina mengatakan ” Andaika ada seorang lahir dengan dibekli akal dan jasmani yang sempurna, kemudian ia menutup matatanya sehingga ia tidak bisa melihat apa-apa yang disekelilingnya. Kalau saat Ia melayang Dia memperkirakan ada tangan atau kakinya, dia tidak menmengira apakah itu tangan atau kakinya. Dengan demikian, penetapan tentang wujud dirinya tidak timbul dari indera melainkan dari sumber yang berbeda sama sekali dengan badan yaitu Jiwa.[8]
Ibnu Sina membagi jiwa dalam tiga bagian:
- Jiwa tumbuh-tumbuhan dengan daya-daya: makan, tumbuh, dan berkembang biak
- Jiwa Binatang dengan daya-daya:
a. Gerak
b. Menangkap dengan dua bagian yaitu: 1) Menangkap dari luar dengan panca indera, dan 2) Menangkap dari dalam dengan indera-idera dalam:
(i) Indera bersama yang menerima segala apa yang ditangkap oleh indera panca indera
(ii) Representasi yang menyimpan segala apa yang diterima oleh indera bersama
(iii) Imajinasi yang menyusun apa yang disimpan dalam representasi
(iv) Estimasi yang dapat menangkap hal-hal yang abstrak yang terlepas dari materinya umpamannya keharusan lari bagi kambing dan serigala.
(v) Rekoleksi yang menyimpan hal-hal yang abstrak yang diterima oleh estimasi
(vi) Jiwa Manusia dengan dua daya, yaitu:
a. Praktis yang hubungannya denga badan
b. Teoritis yang hubungannya dengan hal-hal yang abstrak. Daya ini mempunyai beberapa tingkatan, yaitu:
(i) Akal Materi yang semata-mata mempunyai potensi untuk berpikir dan belum dilatih walaupun sedikit.
(ii) Intellectus in habit yang telah mulai dilatih untuk berpikir tentang hal-hal yang abstrak
(iii) Akal Aktuil yang telh dapat berpikir tentang hal-hal yang abstrak
(iv) Akal Mustafad yaitu akal yang telah sanggup berpikir tentang hal-hal abstrak dengan tak perlu ada daya upaya akal yang telah terlatih begitu rupa, sehingga hal-hal yag abstrak selamnya terdapat dalam akal yang serupa yang sanggup menerima limpahan ilmu pengetahuan dari akal aktif.[9]
Dalam hal ini jiwa daya manusia yang praktis mempnyai kedudukan penting. Daya inilah yang berusaha mengontrol badan manusia, sehingga hawa nafsu yang terdapatdalam badan tidak menjadi halangan bagi jiwa daya manusia yang teoritis untuk membawa manusia kepada tingkatan yang tinggi dalam usaha mencapai kesempurnaan. Menurut Ibnu Sina, jiwa manusia merupakan satu unit yang tersendiri dan mempunyai wujud terlepas dari badan. Jiwa manusia timbul dan tercipta tiap kali ada badan yang sesuai dan dapat menerima jiwa, lahir di dunia ini. Walaupun jiwa tidak mempunyai fungsi fisik. Tetapi, panca indera yang lima dan daya-daya batin dari jiwa binatang seperti rekoleksi, estimasi, dan indera bersama yang akan menolong jiwa manusia untuk memperoleh konsep-konsep dan ide-ide dari alam sekelilingnya. Apabila jiwa telah mencapai kesempurnaanya, maka badab tidak diperlukan lagi bahkan menjadi penghalag mewujudkan kesempurnaan.
Ibnu Sina lebih berat kepada dokrin Neo-Platonisme yang menekankan pengaruh pikiran atas tubuh daripada pemikiran Aristoteles yang cenderung materialistik dan menekankan pengaruh tubuh atas fenomena mental. Lebih jauh, menurut Ibnu Sina, pengaruh pikiran atas tubuh bukanlah dipaksakan, karena itu tubuh akan menaatinya. Ibnu Sina telah menghitung adanya empat tingkatan sedangkan Aristoteles hanya tiga tingkatan yaitu imajinasi atau penalaran, keinginan, dan gerak otot. Ibnu Sina membagi lagi yang kedua menjadi keinginan dan kata hati, tidak semua keingina bisa menimbulkan perbuatan kecuali kalau keinginan itu didorong oleh kata hati entah secara sadar atau tidak sadar.
- METAFISIKA
Berkaitan dengan Metafisika, Ibnu Sina juga membicarakan sifat wujuddiah yang terpenting dan mempunyai kedudukan diatas segala sifat lain, walaupun esensi sendiri. Esensi, dalam faham Ibnu Sina terdapat dalam akal, sedangkan wujud terdapat diluar akal. Wujudlah yang membuat tiap esensi yang dalam akal mempunyai kenyataan di lusr akal. Tanpa wujud, esensi tidak besar artinya. Oleh sebsb itu wujud lebih penting dari esensi. Tidak mengherankan kalau dikatakan bahwa Ibnu Sina telah terlebih dahulu mengajukan filsafat wujudiah atau existentialism dan filsuf-filsuf lain.
Kalau di kombinasikan, esensi dan wujud dapat mempunyai kombinasi berikut:
- Esensi yang tak dapat mempunyai wujud dan hal yang serupa ini disebut oleh Ibnu Sina yaitu sesuatu yang mustahilberwujud. Contohnya adanyasekarang ini juga kosmos lain di samping kosmos yang ada.
- Esensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh pula tidak mempunyai wujud. Yang serupa ini disebut mamkun yaitu sesuatu yang mungkin berwujud tetapi mungkin pula tidak berwujud. Contohnya Alam ini yag pada ulanya tidak ada, kemudian ada, dan akhirnya akan hancur menjadi tidak ada.
- Esensi yang tak boleh tidak mesti mempunyai wujud. Di sini esensi tidak bisa di pisahkan dari wujud. Esensi dan wujud adalah sama dan satu. Di sini esensi tidak dimulai oleh tidak berwujud dan kemudian berwujud, sebagaimana halnya dengan esensi dalam kategori kedua, tetapi esensi mesti dan wajib mempunyai wujud selama-lamanya. Yang serupa ini disebut mesti berwujud yaitu Tuhan. Wajib al-Wujud inilah yang mewujudkan mumkin al-wujud. Hubungan antara Wajib al-Wujud dengan Mamkin al-Wujud bersifat emanasionistis.
Dengan demikian, Tuhan adalah unik dalam arti, Dia adalah kemaujudan yang mesti, segala sesuatu selain Dia bergantung kepada diri dan keberadaan Tuhan. Kemaujudan yang mesti itu harus satu. Nyatanya, walaupun di dalam kemaujudan ini tak boleh terdapat kelipatan sifat-sifatn-Nya, tetapi Tuhan memiliki esensi lain, tak ada atribut-atribut lain kecuali bahwa Dia itu ada dan mesti ada. Ini dinyatakan oleh Ibnu Sina dengan mengatakan bahwa esensi Tuhan identik dengan keberadaan-Nya yang mesti itu. Karena Tuhan tidak beresensi, maka Dia mutlak sederhana dan tak dapat didefinisikan.
Sebagai pendiri Neo-Platonisme Arab dan tokoh utama dalam gerakan filosofis sejak Proclus(tokoh terakhir dari Barat), Ibnu Sina tentu menganut paham emanasi. Ia berpendapat bahwa dari Tuhan memancar Akal Pertama. Sekalipun Tuhan terdahulu dari zat, namun Tuhan dan akal pertama adalah sama-sama azali. Selanjutnya Ibnu Sina berpendapat berbeda dengan al-Farabi, bahwa akal pertama mempunyai dua sifat yaitu sifa wajib wujudnya, sebagai pancaran dari Allah dan sifat mungkin wujudnya jika ditinjau dari hakikat dirinya. Dengan demikian dia mempunyai tiga objek pemikiran yaitu Tuhan, dirinya sebagai wajib wujudnya, dan dirinya sebagai mungkin wujudnya. Dari pemikiran tentang Tuhan timbul akal-akal dari pemikiran tentang dirinya sebagai wajib wujud-Nya timbu jiwa-jiwa dan dari pemikira tentang dirinya sebagai mungkin wujudnya timbul langit-langit.[10]
Dari akal pertama memancar akal kedua yaitu jiwa dan langit pertama dan seterusnya, hingga akal 10 yaitu jiwa dan bumi. Dari akal 10 memancar segala apa yang terdapat di bumi yang berada di bawah bulan termasuk jiwa manusia. Akal Pertama adalah malaikat tertinggibdan akal yang kesepuluh adalah jibril.
Akal bersifat tetap dan terasing dari falak sedangkan jiwa berhubunganlangsung dengan falak. Tuhan adalah al-Khair al-Mutlak dan akal hanyalah al-Khair yang menjadi tujuan dari segala gerakan falak untuk kesempurnaan dirinya. Kerinduan Jiwa Falak kepada al-Khair disebut al-Isyq al-Mutlak. Rindu inilah yang menyebabkan terjadinya bermacam-macam peristiwa dan berlangsungnya berbagai macam hal.
- KENABIAN
Pedapat Ibnu Sina tentang Nabi bertitik tolak dari tingkatan Akal. Akal materil sebagai yang terendah adakalanya dianugerahkan Tuhan kepada manusia akal materil yang besar lagi kuat, oleh Ibnu Sina dinamakan intuisi. Daya yang ada pada akal materi serupa ini begitu besarnya sehingga tanpa melalui latihan dengan mudah dapat berhubungan dengan akal aktif dan dengan mudah dapat menerima cahaya atau wahyu dari Tuhan. Akal serupa ini mempunyai kuuta kodsayah yaitu bersifat suci. Inilah bentuk akal tertinggi yang dapat diperoleh manusia yaitu bentu akal yang ada pada Nabi-Nabi.
Sejalan dengan teori kenabian dan kemukjizatan, Ibnu Sina membagi manusia ke dalam empat kelompok mereka yang kecakapan teoritisnya telah mencapai tingkat penyempurnaan yang sedimikian rupa sehingga mereka tidak lagi membutuhkan guru sebangsa manusia, sedangkan kecakapan praktisnya telah mencapai suatu puncak yang demikian rupa sehingga berkatkecakapan imajinatif mereka yang tajam mereka mangambil bagian secara langsung pengetahuan tentang peristiwa-peristiwa masa kini dan akan datang dan berkemampuan untuk menimbulkan gejala-gejala aneh di atas dunia. Kemudian mereka yang memiliki kesempurnaan daya intuitif, tetapi tidak mempunyai daya imajinatif. Lalu orang-orang yang daya teoritisnya sempurna tetapi tidak praktis. Terakhir adalah orang-orang yang mengungguli sesamanya hanya dalam ketajaman daya praktis mereka.
Nabi Nuhammad memiliki syarat-syarat yang dibutuhkan sebagai seorang Nabi , yaitu memiliki imajinasi yang sangat kuat. Dengan kualitas imajinatif yang luar biasa kuatnya, pikiran nabi melalui keniscayaan psikologis yang mendorong, mengubah kebenaran-kebenaran akal murni dan konsep-konsep menjadi imaji-imaji dan simbol-simbol kehidupan yang demikian kuat sehingga orang yang membaca atau mendengar tidak hanya menjadi percaya tetapi juga terdorong untuk berbuat sesuatu. Fungsi imajinasi kenabian yang beupa lambang dan hidup ini ditekankan oleh al=Farabi dan Ibnu Sina, namun Ibnu Sina hal itu lebih diperinci lagi.
- Tasawuf
Mengenai tasawuf, menurut Ibnu Sina tidak dimulai dengan zuhud, beribadah dan meninggalkann keduniaan sebagaimana yang dilakukan orang-orang sufi sebelumnya. Ia memulai tasawufnya dengan akal yang di bantu oleh hati. Dengan kebersihan hati dan pancaran akal, lalu akal akan menerima ma’rifah dari akal fa’al. Dalam pemahaman Ibnu Sina bahwa jiwa-jiwa manusia tidak berbeda lapangan ma’rifahnya dan ukuran yang dicapai mengenai ma’rifah, tetapi perbedaannya terletak kepada ukuran persiapannya untuk berhubungan dengan akal Fa’al.[11]
Mengenai bersatunya Tuhan dengan manusia atau bertempatnya Tuhan di hati diri manusia tidak di terima oleh Ibnu Sina, karena manusia tidak bisa langsung kepada Tuhannya, tetapi melalui perantara untuk menjaga kesucian Tuhan. Ia berpendapat bahwa pncak kebahagiaan itu tidak di tercapai, kecuali perhubungan antara manusia dengan Tuhan saja. Karena manusia mendapat sebahagian pancaran dari perhubungan tersebut. Pancaran dan sinar ini tidak langsung keluar dari Allah, tetapi melalui Akal Fa’al. Berkaitan dengan anggapan bahwa ittihad dapat membawa bersatunya makhluk dengan pencipta-Nya tidak dapat diterima akal sehat, karena hal ini mengharuskan sesuatu menjadi satu dan banyak pada waktu yang sama.
[1] Dr. H. A. Mustofa. Filsafat Islam.(Bandung: 1997). Hal.91
[2] Ibid.......Hal.92
[3] Dr. H. A. Mustofa. Filsafat Islam.(Bandung: 1997). Hal.189 CV. Pustaka Setia
[4] Prof.Dr. H. Zar, Sirajuddin. Filsafat Islam. (Jakarta: 2004). Hal.94 PT. Raja Grafindo Persada
[6] Drs.H.A. Mustofa. Filsafat Islam. (Bandung: 1997). Hal.203
[7] Nasution, Hasyimsyah. Filsafat Islam. (Jakarta: 1998). Hal. 71
[8] Ibid..... Hal.72
[9] Nasution, Hasyimsyah. Filsafat Islam. (Jakarta: 1998). Hal.73
[10] Dr. Nasution, Hasyimsyah, M.A. Filsafat Islam. (Jakarta: 1998). Hal.70
0 komentar:
Posting Komentar