ul#list-nav { list-style:none; margin:20px; padding:0; width:525px } ul#list-nav li { display:inline } ul#list-nav li a { text-decoration:none; padding:5px 0; width:100px; background:#FF0099; color:#eee; float:left; text-align:center; border-left:1px solid #fff; -moz-border-radius: 5px; } ul#list-nav li a:hover { background:#FF6699; color:#000 -moz-border-radius: 5px; }
Selamat datang di dunia PUTERI YANG BERDURI. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

HUKUM PENGADAIAN MENURUT ISLAM

Salah satu prinsip dan tujuan hukum Islam adalah kemaslahatan dan untuk mewujudkan kemaslahatan itu dengan adanya perintah saling membantu (ta'awun) antara sesama manusia. Saling membantu dapat diaplikasikan berupa pemberian tanpa ada pengembalian, seperti zakat, infak dan shadaqah dan dapat berupa pinjaman yang harus dikembalikan kepada pemberi pinjaman.
Dalam hukum Islam pinjam meminjam dibolehkan baik melalui individu maupun lembaga keuangan seperti bank dengan syarat tidak boleh meminta kelebihan dari pokok pinjaman karena termasuk riba. Salah satu bentuk muamalah yang disyariatkan dalam Islam adalah gadai (rahn).
Dalam aplikasinya gadai (rahn) telah terlembaga sebagai suatu lembaga keuangan yang dinamakan pegadaian. Pegadaian ini dalam perspektif ekonomi merupakan salah satu alternatif pendanaan yang sangat efektif  karena tidak memerlukan proses dan persyaratan yang rumit. Tugas pokok dari pegadaian ini untuk memberikan pinjaman kepada masyarakat yang membutuhkan.
Pegadaian adalah badan usaha di Indonesia yang secara resmi mempunyai izin untuk melaksanakan kegiatan lembaga keuangan berupa pembiayaan dalam bentuk penyaluran dana kepada masyarakat atas dasar hukum gadai.
Dari konsep operasionalnya, pegadaian mempunyai fungsi sosial yang sangat  besar, karena pada umumnya orang-orang yang datang ke pegadaian adalah mereka yang secara ekonomi sangat kekurangan dan biasanya pinjaman yang dibutuhkan adalah pinjaman yang bersifat konsumtif dan mendesak. Dalam implementasinya pegadaian merupakan lembaga keuangan komersil-produktif.
Untuk mengakomodir kepentingan umat Islam di Indonesia yang ingin terbebas dari belenggu riba dalam bermuamalah, sekarang ini telah tumbuh dan berkembang lembaga keuangan yang dalam transaksinya dengan metode gadai (rahn) berdasarkan hukum Islam yang dikenal dengan Pegadaian Syari'ah baik yang dikelola oleh lembaga swasta maupun lembaga pemerintah.
Beberapa konstalen di atas telah mendasari kami dalam pembuatan makalah ini. Selanjutnya akan kami bahas dan jabarkan lebih luas pada bab pembahasan.

Adapun beberapa hal yang akan saya bahas  bahas dalam tulisan ini adalah sebagai berikut :
1.    Apa Pengertian Gadai itu?
2.      Bagaimana Hukum Gadai dalam Pandangan Islam?
3.      Apa Saja Rukun dan Syarat Gadai itu?
4.      Bagaimana Hukum Menerima Gadai dengan Mengambil Manfaatnya?
5.      Bagaimana Hak dan Kewajiban Pihak yang Berakad dalam Ar Rahn?
6.      Bagaimana Hukum Serah Terima dalam Ar Rahn?
7.      Bagaimana Jatuh Tempo dalam Ar Rahn?
8.      Apa Saja Hikmah Persyariatan Ar Rahn?

1.          Pengertian Gadai
Dalam fiqih muamalah gadai dikenal dengan kata pinjaman dengan jaminan yang disebut ar-Rahn, yaitu menyimpan suatu barang sebagai tanggungan hutang. Ar-Rahn (gadai) menurut bahasa berarti al-tsubut dan al-habs yaitu penetapan dan penahanan. Dan ada pula yang menjelaskan bahwa rahn adalah terkurung atau terjerat, di samping itu rahn diartikan pula secara bahasa dengan tetap, kekal dan jaminan.
Rahn dalam bahasa Arab memiliki pengertian tetap dan kontinyu. Dikatakan dalam bahasa Arab, المَاءُ الرَّاهِنُ (apabila airnya tidak mengalir) dan kata نِعْمَةٌ رَاهِنَةٌ (nikmat yang tidak putus).
Ada yang mengatakan, makna Rahn tertahan, dengan dasar firman Allah, Al-Muddatstsir: 38:
كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ
"Tiap-tiap diri bertanggung jawab (tertahan) atas apa yang telah diperbuatnya".
(kata Rahinah bermakna tertahan).
Pengertian kedua ini hampir sama dengan yang pertama karena yang tertahan itu tetap ditempatnya. Ibnu Faris berkata : Huruf Raa, Haa' dan Nun adalah asal kata yang menunjukkan tetapnya sesuatu yang diambil dengan hak ataupun tidak. Dari kata ini adalah kata Ar-Rahn yaitu sesuatu yang digadaikan.
Pengambilan kata gadai dengan istilah rahn itu terambil dari ungkapan Allah dengan kata “farihaanu” dalam QS. Al-Baqarah (2): 283 yang berbunyi:
وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلا تَكْتُمُوا الشَّهَادَةَ وَمَنْ يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ آثِمٌ قَلْبُهُ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
 “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu`amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Kata farihanu dalam ayat tersebut diartikan sebagai maka hendaklah ada barang tanggungan. Kemudian dilanjutkan dengan maqbudhah yang artinya yang dipegang (oleh yang berpiutang).
Dari kata itulah dapat diperoleh suatu pengertian bahwa secara tegas rahn adalah barang tanggungan yang dipegang oleh orang yang meminjamkan uang sebagai pengikat di antara keduanya. Meskipun pada dasarnya tanpa hal tersebut pun pinjam meminjam tersebut tetap sah. Namun untuk lebih menguatkannya, maka dianjurkan untuk menggunakan barang gadai.
Dalam istilah syara’ ar-rahn terdapat beberapa pengertian di antaranya:
1.      Gadai adalah akad perjanjian pinjam meminjam dengan menyerahkan barang sebagai tanggungan utang.
2.      Gadai adalah suatu barang yang dijadikan peneguhan atau penguat kepercayaan dalam utang piutang.
3.      Akad yang obyeknya menahan harga terhadap sesuatu hak yang mungkin diperoleh bayaran dengan sempurna darinya.
Dalam Fiqh Sunnah, menurut bahasa Rahn adalah tetap dan lestari, seperti juga dinamai al-habsu artinya penahanan, seperti dikatakan: Ni’matun Rahinah, artinya karunia yang tetap dan lestari.
Menurut syara’ apabila seseorang ingin berhutang kepada orang lain, ia menjadikan barang miliknya baik berupa barang tak bergerak atau berupa ternak berada di bawah kekuasaannya (pemberi pinjaman) sampai ia melunasi hutangnya.
Menjadikan sesuatu barang yang mempunyai nilai harta dalam pandangan syara’ sebagai jaminan utang, yang memungkinkan untuk mengambil seluruh atau sebagian utang dari barang tersebut.”
Rahn dalam hukum Islam dilakukan secara sukarela atas dasar tolong menolong dan tidak untuk mencari keuntungan. Sedangkan gadai dalam hukum perdata, di samping berprinsip tolong menolong juga menarik keuntungan melalui sistem bunga atau sewa modal yang ditetapkan di muka. Dalam hukum Islam tidak dikenal “bunga uang”, dengan demikian dalam transaksi rahn (gadai syari’ah)  pemberi gadai tidak dikenakan tambahan pembayaran atas pinjaman yang diterimanya. Namun demikian masih dimungkinkan bagi penerima gadai untuk memperoleh imbalan berupa sewa tempat penyimpanan marhun (barang jaminan/agunan).
Berdasarkan pendapat beberapa tokoh:
1.      Menurut pendapat Syafe’i Antonio, Ar-Rahn (Gadai) adalah menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya.
2.      Dalam hal gadai Drs. Ghufron A. Mas’adi, mengemukakan bahwa yang dimaksud ar-Rahn (gadai) adalah sebuah akad utang piutang yang disertai dengan jaminan (atau agunan).
3.      Sedangkan di dalam syariah, ar-Rahn itu berarti memegang sesuatu yang mempunyai nilai, bila pemberian itu dilakukan pada waktu terjadinya utang.
4.      Menurut Zainuddin dan Jamhari, gadai adalah menyerahkan benda berharga dari seseorang kepada orang lain sebagai penguat atau tanggungan dalam utang piutang. Borg adalah benda yang dijadikan jaminan. Benda sebagai borg ini akan diambil kembali setelah utangnya terbayar. Jika waktu pembayaran telah ditentukan telah tiba dan utang belum dibayar, maka borg ini digunakan sebagai ganti yaitu dengan cara dijual sebagai bayaran dan jika ada kelebihan dikembalikan kepada orang yang berutang.
Sedangkan definisi Rahn menurut ahli hukum sebagai berikut
1.      Ulama Syafi’iyah mendefinisikan Rahn sebagai berikut.
Menjadikan suatu barang yang biasa dijual sebagai jaminan utang dipenuhi dari harganya, bila yang berutang tidak sanggup membayar utangnya
2.      Ulama Hanabilah mengungkapkan sebagai berikut:
Suatu benda yang dijadikan kepercayaan suatu utang, untuk dipenuhi dari harganya, bila yang berutang tidak sanggup membayar utangnya
3.      Ulama Malikiyah mendefinisikan sebagai berikut:
Sesuatu yang bernilai harta (mutamawwal) yang diambil dari pemiliknya untuk dijadikan pengikat atas utang yang tetap (mengikat).”
Menurut beberapa mazhab, rahn berarti perjanjian penyerahan harta yang oleh pemiliknya dijadikan jaminan hutang yang nantinya dapat dijadikan sebagai pembayar hak piutang tersebut, baik seluruhnya maupun sebagainya. Penyerahan jaminan tersebut tidak harus bersifat aktual (berwujud), namun yang terlebih penting penyerahan itu bersifat legal, misalnya berupa penyerahan sertifikat atau surat bukti kepemilikan yang sah suatu harta jaminan.[11]
Dengan demikian gadai merupakan akad atau perjanjian hutang piutang dengan menjadikan  barang jaminan sebagai kepercayaan/penguat dari hutang dan orang yang memberikan pinjaman berhak menjual/melelang barang yang digadaikan itu pada saat ia menuntut haknya (jatuh tempo).
2.  Hukum Gadai dalam Pandangan Islam
Kesepakatan tentang perjanjian penggadaian suatu barang sangat terkait dengan akad sebelumnya, yakni akad utang piutang (al-dain), karena tidak akan terjadi gadai dan tidak akan mungkin seseorang menggadaikan benda atau barangnya kalau tidak ada hutang yang dimilikinya.
Utang-piutang itu sendiri adalah hukumnya mubah bagi yang berhutang dan sunnah bagi yang mengutangi karena sifatnya menolong sesama. Hukum ini bisa menjadi wajib manakala orang yang berutang benar-benar sangat membutuhkannya.
Meskipun hukumnya adalah mubah, namun persoalan ini sangat rentan dengan perselisihan, karena seringkali seseorang yang telah meminjam suatu benda atau uang tidak mengembalikan tepat waktu atau bahkan meninggalkan kesepakatan pengembalian dengan sembunyi atau pergi jauh menghilang entah kemana sehingga si pemberi utang pun merasa ditipu dan dirugikan.
Karena pertimbangan di atas, ataupun pertimbangan lain yang belum dapat diketahui oleh umat manusia, maka sangat relevan sekali jika allah melalui wahyu-nya menganjurkan agar akad utang piutang tersebut ditulis, dengan menyebutkan nama keduanya, tanggal, serta perjanjian pengembalian yang menyertainya, penulisan tersebut dianjurkan lagi untuk dipersaksikan kepada orang lain, agar apabila terjadi kesalahan di kemudian hari ada saksi yang meluruskan, dan tentunya saksi tersebut harus adil. Dalam penerapannya saat ini, penulisan tersebut biasanya dikuatkan pula dengan materai agar mempunyai kekuatan hukum, atau bahkan disahkan melalui seorang notaris.
Selain itu pula, allah juga menganjurkan (sunnah) untuk memberikan barang yang bernilai untuk dijadikan sebagai jaminan (gadai) bagi si pemberi pinjaman. Kemudian dituliskan segala kesepakatan yang diambil sebelum melakukan pinjam meminjam dengan gadai. Barang yang dijadikan sebagai gadai (jaminan) tersebut harus senilai dengan pinjaman atau bahkan nilainya lebih dari nilai besarnya pinjaman, barang tersebut dipegang oleh yang berpiutang. Ayat tersebut sebagaimana yang telah dikutip sebelumnya, yakni dalam QS. Al-Baqarah (2): 283 yang berbunyi:
وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلا تَكْتُمُوا الشَّهَادَةَ وَمَنْ يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ آثِمٌ قَلْبُهُ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
 “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu`amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada allah tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Menurut tinjauan islam berdasarkan ayat tersebut bahwa dasar hukum gadai adalah jaiz (boleh) menurut al-kitab, as-sunnah dan ijma.
Kata “سَفَرٍ” Pada ayat tersebut di atas secara lughat berarti perjalanan, namun secara maknawi berarti perjalanan yang di dalamnya terjadi muamalah tidak secara tunai.
Dalam ayat ini walaupun ada pernyataan ‘dalam perjalanan’ namun tetap menunjukkan keumumannya, baik dalam perjalanan atau dalam keadaan mukim, karena kata ‘dalam perjalanan’ dalam ayat hanya menunjukkan keadaan yang biasa membutuhkan sistem ini. Hal inipun dipertegas dengan amalan Rasululloh yang melakukan pergadaian sebagaimana dikisahkan umul mukminin A’isyah dalam pernyataan beliau
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اشْتَرَى طَعَامًا مِنْ يَهُودِيٍّ إِلَى أَجَلٍ وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيدٍ
Sesungguhnya Nabi Shalallaahu alaihi wasalam membeli dari seorang yahudi bahan makanan dengan cara hutang dan menggadaikan baju besinya. (HR Al Bukhori no 2513 dan Muslim no. 1603).
Demikian juga para ulama bersepakat menyatakan pensyariatan Al Rahn ini dalam keadaan safar (perjalanan) dan masih berselisih kebolehannya dalam keadaan tidak safar. Imam Al Qurthubi menyatakan: Tidak ada seorangpun yang melarang Al Rahn pada keadaan tidak safat kecuali Mujaahid, Al Dhohak dan Daud (Al Dzohiri).
Ibnu Qudamah menyatakan: Diperbolehkan Al rahn dalam keadaan tidak safar (menetap) sebagaimana diperbolehkan dalam keadaan safar (bepergian). Ibnul Mundzir menyatakan: Kami tidak mengetahui seorangpun yang menyelisihi hal ini kecuali Mujahid, ia menyatakan: Al Rahn tidak ada kecuali dalam keadaan safar, karena Allah berfirman:
Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).
Namun benar dalam hal ini adalah pendapat mayoritas ulama dengan adanya perbuatan Rasululloh SAW diatas dan sabda beliau:
الرَّهْنُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ
Al Rahn (Gadai) ditunggangi dengan sebab nafkahnya, apabila digadaikan dan susu hewan menyusui diminum dengan sebab nafkah apabila digadaikan dan wajib bagi menungganginya dan meminumnya nafkah.(HR Al Bukhori no. 2512). Pendapat ini dirojihkan Ibnu Qudamah, Al Hafidz Ibnu Hajar dan Muhammad Al Amien Al Singqithi
Setelah jelas pensyariatan Al Rahn dalam keadaan safar (perjalanan), apakah hukumnya wajib dalam safar dan mukim atau tidak wajib pada keseluruhannya atau wajib dalam keadaan safar saja? Para ulama berselisih dalam dua pendapat[16].
1)      Tidak wajib baik dalam perjalanan atau mukim. Inilah pendapat Madzhab imam empat (Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah dan Hambaliyah). Berkata Ibnu Qudamah: Al Rahn tidak wajib, kami tidak mengetahui orang yang menyelisihinya, karena ia adalah jaminan atas hutang sehingga tidak wajib seperti Dhimaan (jaminan pertanggung jawaban). Dalil pendapat ini adalah dalil-dalil ang menunjukkan pensyariatan Al rahn dalam keadaan mukim diatas yang tidak menunjukkan adanya perintah sehingga menunjukkan tidak wajibnya. Demikian juga karena Al rahn adalah jaminan hutang sehingga tidak wajib seperti Al Dhimaan (Jaminan oertanggungjawaban) dan Al Kitabah (penulisan perjanjian hutang) dan juga karena ini ada ketika sulit melakukan penulisan perjanjian hutang. Bila Al Kitaabah tidak wajib maka demikian juga penggantinya.
2)      Wajib dalam keadaan safar. Inilah pendapat Ibnu Hazm dan yang menyepakatinya. Pendapat ini berdalil dengan firman Allah:
Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang.
Mereka menyatakan bahawa kalimat (maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)) adalah berita bermakna perintah. Juga dengan sabda Rasululloh SAW :
كُلُّ شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَهُوَ بَاطِلٌ وَإِنْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ
Semua syarat yang tidak ada dikitabullah maka ia bathil walaupun seratus syarat. (HR Al Bukhori).
Mereka menyatakan: Pensyaratan Al Rahn dalam keadaan safar ada dalam Al Qur’an dan diperintahkan, sehingga wajib mengamalkannya dan tidak ada pensyaratannya dalam keadaan mukim sehingga ia tertolak. Pendapat ini dibantah bahwa perintah dalam ayat tersebut bermaksud bimbingan bukan kewajiban. Ini jelas ditunjukkan dalam firman Allah setelahnya:
Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) (QS. 2:283).
Demikian juga pada asalnya dalam transaksi mu’amalah adalah kebolehan (mubah) hingga ada larangannya dan disini tidak ada larangannya.
Adapun kata مَقْبُوضَةٌ فَرِهَانٌSecara lughat hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang. Barang tanggungan yang dimaksud adalah gadai yang harus dipegang oleh orang yang berpiutang. Kemudian jika kamu tidak percaya, artinya jika kamu satu sama lain tidak percaya mempercayai sedang kamu berada dalam safar dan tidak ada penulis, maka hendaklah yang berutang memberikan barang (gadai) sebagai jaminan,  maka hendaklah yang berhutang memberikan barang sebagai jaminan, bahwa dia benar-benar berhutang dan akan membayar hutangnya[17].
Ayat ini tidak mensahkan hukum yang menyuruh membuat surat hutang di waktu tidak saling mempercayai, karena membuat surat keterangan hutang diwajibkan agama kecuali dikala safat tidak ada penulis, maka hendaklah yang berutang memberikan barang sebagai jaminan.
Dan kata   berarti didasarkan dosa kepada hati (jiwa) adalah karena menyembunyikan kesaksian adalah perbuatan hati, dan perbuatan hati itu sekali-kali tidak tersembunyi bagi allah.
Dalil dari as-sunnah, salah satu hadis rasul saw. Disebutkan:
Artinya :
“Dari aisyah r.a berkata: bahwa rasul saw pernah membeli bahan makanan dari seorang yahudi secara mengutang kemudian beliau meninggalkan (menggadaikan) baju besi beliau sebagai jaminan utangnya.”
Para ulama telah sepakat bahwa gadai itu boleh, mereka tidak pernah mempertentangkan kebolehannya. Demikian pula landasan hukumnya. Jumhur berpendapat bahwa gadai itu disyariatkan pada waktu tidak bepergian dan waktu berpergian. Hal ini berorientasi terhadap perbuatan rasul saw. Yang dilakukan terhadap orang yahudi di madinah.
Mujahid, Adh Dahhak  dan semua penganutnya/pengikutnya mazhab Az-Zahiri berpendapat, bahwa rahnun itu tidak diisyaratkan kecuali pada saat bepergian. Ini juga berdalil kepada landasan hukum dalam al-qur’an pada surah al-baqarah ayat 283, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya.
Keterkaitan antara utang piutang dengan gadai, adalah ketika di antara peminjam dan yang memberikan pinjaman tidak terjadi saling percaya, atau kepercayaan tersebut disertai dengan syarat, atau untuk menguatkan kepercayaan diantara keduanya, maka di situlah fungsi dari gadai. Jadi, selama keduanya masih saling percaya, maka gadai tersebut tidak merupakan dianjurkan, dalam artian akad pinjam meminjam tersebut tetap sah, meskipun tanpa disertai dengan barang gadai.
Berdasarkan keterangan ayat dan penjelasan di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa hukum gadai adalah sunnah yang sangat dianjurkan (sunnah muakkadah), karena keberadaannya sangat besar pengaruh terhadap kepercayaan antara kedua belah pihak, menghindari adanya penipuan dan adanya pihak yang dirugikan.
3.              Rukun dan Syarat Gadai
Adapun yang menjadi rukun gadai adalah[19]:
A.    Aqid yaitu Ar-Rahn (yang menggadaikan) dan Al-Murtahin (penerima gadai/yang memberikan pinjaman) adalah orang yang telah dewasa, berakal, bisa dipercaya dan atas keinginan sendiri.
B.     Al-Mahrun/Rahn (barang yang digadaikan/borg) harus ada pada saat perjanjian gadai dan barang tersebut merupakan milik sepenuhnya dari pemberi gadai. Syarat benda yang dijadikan jaminan ialah benda itu tidak rusak sebelum janji hutang harus dibayar. Rasul bersabda: ”Setiap barang yang bisa diperjualbelikan boleh dijadikan jaminan gadai”. Menurut Ahmad bin Hijazi bahwa yang dapat dijadikan jaminan dalam masalah gadai ada tiga macam, yaitu: kesaksian, barang gadai dan barang tanggungan.
Sedangkan syarat barang yang digadaikan adalah:
1.      Dapat diserah terimakan
2.      Bermanfaat (mempunyai nilai)
3.      Milik orang yang menggadaikan (rahin)
4.      Jelas dan spesifik
5.      Tidak bersatu dengan harta lain (utuh)
6.      Dikuasai oleh rahin
7.      Harta yang tetap atau dapat dipindahkan
C.     Al-Mahruun Bih (Utang) adalah sejumlah dana yang diberikan murtahin kepada rahin atas dasar besarnya tafsiran marhun
Menurut ulama hanafiyah dan syafiiyah syarat utang yang dapat dijadikan alas gadai adalah:
1. Utang yang tetap dapat dimanfaatkan
2. Utang harus lazim pada waktu akad
3. Utang harus jelas dan diketahui oleh rahin dan murtahin
D.    Sighat, Ijab dan Qabul adalah kesepakatan antara rahin dan murtahin dalam melakukan transaksi gadai. Sedangkan, syarat-syarat sah akad gadai adalah sebagai berikut;
1. Berakal
2. Baligh
3. Barang yag dijadikan jaminan ada pada saat akad meski tidak lengkap.
4. Barang tersebut diterima oleh orang yang memberikan utang ( murtahin) atau wakilnya.
Imam Syafi’i melihat bahwa Allah tidak menetapkan satu hukum kecuali dengan jaminan yang memiliki kriteria jelas dalam serah terima. Apabila kriteria tersebut tidak ada maka hukumnya juga tidak ada. Mazhab Maliki berpendapat bahwa gadai wajib dengan akad dan bagi orang yang menggadaikan diharuskan menyerahkan barang jaminan untuk dikuasai oleh debitor (murtahin). Barang jaminan jika sudah berada di tangan debitor (murtahin), ia berhak memanfaatkan barang tersebut. Berbeda dengan Imam Syafi’i yang mengatakan, “Hak pemanfaatan atas barang jaminan hanya boleh selama tidak merugikan debitor”.
Benda/barang gadaian tetap berada dalam penguasaan penerima gadai (rahin) atau berada di tangan pemberi pinjaman sampai orang yang menggadaikan barang tersebut melunasi utangnya. Jadi, marhun (barang gadai) tidak dikembalikan sebelum pinjaman dilunasi.
Bahkan lebih jauh dari itu, sebagaimana yang dikutip oleh sayyid sabiq telah mengemukakan bahwa semua orang yang alim berpendapat, siapa yang menjaminkan sesuatu dengan harta kemudian dia melunasi sebagiannya dan ia menghendaki mengeluarkan sebagian harta, kemudian dilunasi sebagiannya dan menghendaki mengeluarkan sebagian jaminan sesungguhnya yang demikian itu (masih) bukan miliknya sebelum ia melunasi sebagian lain dan haknya atau pemberi utang membebaskannya.
Beberapa hal yang berkaitan dengan syarat sah ar-rahn (gadai) antara lain :
1.      Borg/marhun (barang gadai) harus utuh
2.      Borg yang berkaitan dengan benda lainnya, tapi hanafiyah berpendapat tidak sah jika borg berkaitan dengan benda lain seperti borg buah yang masih di pohon, sedangkan pohonnya tidak dijadikan borg.
3.      Gadai utang
4.      Menggadaikan barang pinjaman; pada dasarnya barang yang digadaikan haruslah milik rahin akan tetapi jika dalam kondisi tertentu rahin bisa menggadaikan barang yang bukan miliknya asal seizin pemiliknya atau rahin tersebut dikuasakan untuk melaksanakan akad gadai (rahn).
Menyimpulkan dari beberapa pendapat di atas, maka rukun dan syarat sahnya akad gadai adalah adanya pihak penggadai (rahin), pihak yang menerima gadai (marhun), barang yang dipinjam, barang yang dijadikan gadai dan ijab qabul. Tanpa kesemuanya tersebut sangat mustahil dapat terwujud akad gadai.
4.   Hukum Menerima Gadai dengan Mengambil Manfaatnya
Bagaimana orang yang menerima gadai dengan mengambil manfaatnya, misalnya, sebidang tanah yang di gadaikan, kemudian di ambil hasilnya dengan tanpa syarat pada waktu akad di adakan demikian itu, baik sudah menjadi kebiasaan atau sebelum akad memakai syarat atau dengan perjanjian tertulis, tetapi tidak dibaca pada waktu akad, dalam masalah ini ada pendapat beberapa ahli hukum tentang boleh tidaknya memanfaatkan barang gadai, yaitu:
a.       Pendapat Syafi'iyah
Menurut ulama Syafi'iyah yang mempunyai hak atas manfaat barang gadai (marhun) adalah rahin, walaupun marhun itu berada di bawah kekuasaan murtahin. Hal ini berdasarkan hadis Rasululllah saw. berikut ini :
Dari Abi Hurairah bahwa Nabi saw. bersabda : Gadai itu tidak menutup yang punya dari manfaat  barang itu, faedahnya kepunyaan dia dan dia wajib mempertangungjawabkan segalanya. (HR. Al-Syafi'i dan Daruqutny).
Dari Umar bahwasannya Rasulullah saw. bersabda; Hewan sesorang tidak boleh diperah tanpa seizin pemiliknya. (HR. Bukhary).
Berdasarkan hadis di atas, menurut ulama Syafi'iyah bahwa barang gadai (marhun) hanya sebagai jaminan atau kepercayaan atas penerima gadai (murtahin), sedangkan kepemilikan tetap ada pada rahin.
Dengan demikian, manfaat atau dari hasil barang yang digadaikan adalah milik rahin. Pengurangan terhadap nilai atau harga dari barang gadai tidak diperbolehkan kecuali atas izin pemilik barang gadai.
b.      Pendapat Malikiyah
Murtahin dapat memanfaatkan barang gadai atas izin pemilik barang dengan beberapa syarat, yaitu :
a)      Hutang disebabkan jual beli, bukan karena menghutangkan.
b)      Pihak murtahin mensyaratkan bahwa manfaat dari marhun untuknya.
c)      Jangka waktu mengambil manfaat yang telah disyaratkan harus ditentukan, apabila tidak ditentukan batas waktunya, maka menjadi batal.8
Pendapat Malikiyah ini berdasar kepada hadis Nabi Muhammad saw. yaitu:
Dari Abi Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda ; Barang jaminan itu dapat ditunggangi dan diperah.
Dari Umar bahwasannya Rasulullah saw. bersabda; Hewan sesorang tidak boleh diperah tanpa seizin pemiliknya. (HR. Bukhary).
c.       Pendapat Hanabilah
Ulama Hanabilah membagi marhun menjadi dua katagori yaitu hewan dan bukan hewan. Apabila barang gadai berupa hewan yang tidak dapat diperah dan tidak dapat ditunggangi maka boleh menjadikannya sebagai khadam. Tetapi apabila barang gadai berupa rumah, sawah kebun dan sebagainya, maka tidak boleh mengambil manfaatnya.
Adapun yang menjadi landasan adalah :
Ø  Kebolehan murtahin mengambil manfaat dari barang gadai yang dapat ditunggangi adalah hadis Rasulullah saw. : Apabila ternak itu digadaikan, maka air susunya yang deras boleh diminum oleh orang yang menerima gadai, karena ia telah mengeluarkan biaya. Kepada orang yang naik atau minum, maka ia harus mengeluarkan biaya perawatannya (HR.Bukhari).
Ø  Boleh murtahin memanfaatkan barang gadai atas sizin pihak rahin dan nilai manfaatnya harus disesuaikan dengan biaya yang telah dikeluarkan untuk marhun didasarkan atas hadis : Barang jaminan itu dapat ditunggangi dan diperah dan hadis : Hewan seseorang tidak boleh diperah tanpa seizin pemiliknya.
d.   Pendapat Hanafiyah
Menurut ulama Hanafiyah, tidak ada perbedaan antara pemanfaatan barang gadai yang mengakibatkan kurangnya harga atau tidak, alasannya adalah hadis Nabi saw. : Dari Abi Hurairah, sesungguhnya Nabi saw. bersabda : Barang jaminan utang dapat ditunggangi dan diperah, serta atas dasar menunggangi dan memerah susunya, wajib menafkahi. (HR. Bukhari).
Menurut ulama Hanafiyah, sesuai dengan fungsi dari barang gadai sebagai barang jaminan dan kepercayaan bagi penerima gadai, maka barang gadai dikuasai oleh penerima gadai. Apabila barang tersebut tidak dimanfaatkan oleh penerima gadai, maka berarti menghilangkan manfaat barang tersebut, padahal barang tersebut memerlukan biaya untuk pemeliharaan. Hal tersebut dapat mendatangkan mudharat bagi kedua belah pihak, terutama bagi pemberi gadai.
Dari keempat pendapat di atas pada dasarnya memanfaatkan barang gadai  tidak diperbolehkan karena tindakan memanfaatkan barang gadai tak ubahnya qiradh dan setiap qiradh yang mengalir manfaat adalah riba. Akan tetapi jika barang yang digadaikan itu berupa hewan ternak yang bisa diambil susunya atau ditunggangi dan pemilik barang gadai memberi izin untuk memanfaatkan barang tersebut maka penerima gadai boleh memanfaatkannya sebagai imbalan atas beban biaya pemeliharaan hewan yang dijadikan marhun tersebut.
Adapun Mu’tamar memutuskan, bahwa yang lebih berhati-hati ialah pendapat yang pertama (haram) sebagaimana yang telah di terangkan dalam kitab Asybah Wan Nazhair dalam pembahasan ke tiga. Jika sudah umum di kalangan masyarakat kebiasan kebolehan memanfaatkan barang gadaian oleh pemilik gadai, apakah kebiasaan tersebut sama dengan pemberlakuan syarat (kebolehan pemanfaatan) sampai barang yang di gadaikan itu rusak. Matoritas ulama’ mengatakan tidak sama[21].
5   Hak dan Kewajiban Pihak yang Berakad
A.    Hak dan Kewajiban Murtahin (Penerima Gadai )
a)      Hak Murtahin (Penerima Gadai) :
Ø  Penerima gadai berhak menjual marhun (barang jaminan) apabila rahin tidak dapat memenuhi kewajibannya pada saat jatuh tempo. Hasil penjualan barang gadai (marhun) dapat digunakan untuk melunasi pinjaman (marhun bih) dan sisanya dikembalikan kepada rahin.
Ø  Pemegang gadai berhak mendapatkan penggantian biaya yang telah dikeluarkan untuk menjaga keselamatan marhun.
Ø  Selama pinjaman belum dilunasi, pemegang gadai berhak menahan barang gadai yang diserahkan oleh pemberi gadai (nasabah/rahin).
b)      Kewajiban Murtahin (penerima gadai) :
Ø  Penerima gadai bertanggung jawab atas hilang atau merosotnya barang gadai, apabila hal itu disebabkan kelalaiannya.
Ø  Penerima gadai tidak boleh menggunakan barang gadai untuk kepentingan sendiri.
Ø  Penerima gadai wajib memberitahukan kepada pemberi gadai sebelum diadakan pelelangan barang gadai.
B.     Hak dan Kewajiban Rahin (Pemberi Gadai)
a)      Hak Pemberi gadai (Rahin) :
Ø  Pemberi gadai berhak mendapatkan kembali barang gadai, setelah ia melunasi pinjaman.
Ø  Pemberi gadai berhak menuntut kerugian dari kerusakan dan hilangnya barang gadai, apabila hal itu disebabkan kelalaian penerima gadai.
Ø  Pemberi gadai berhak menerima sisa hasil penjualan barang gadai setelah dikurangi biaya pinjaman dan biaya-biaya lainnya.
Ø  Pemberi gadai berhak meminta kembali barang gadai apabila penerima gadai diketahui menyalahgunakan barang gadai.
b)      Kewajiban pemberi gadai :
Ø  Pemberi gadai wajib melunasi pinjaman yang telah diterimanya dalam tenggang waktu yang ditentukan, termasuk biaya-biaya yang ditentukan oleh penerima gadai.
Ø  Pemberi gadai wajib merelakan penjualan atas barang gadai miliknya, apabila dalam jangka waktu yang telah ditentukan pemberi gadai tidak dapat melunasi pinjamannya.
6.  Hukum Serah Terima dalam ar Rahn
A.    Hukum setelah serah terima
Para ulama berselisih pendapat dalam masalah ar-rahn, dalam hal apakah menjadi keharusan untuk diserahkan langsung ketika transaksi ataukah setelah serah terima barang gadainya. Terdapat dua pendapat dalam hal ini:
Pendapat pertama, serah terima adalah syarat keharusan terjadinya ar-rahn. Ini pendapat Mazhab Hanafiyah, Syafi’iyah dan riwayat dalam Mazhab Ahmad bin Hambal, serta Mazhab Zahiriyah.
Dasar pendapat ini adalah firman Allah “فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةُُ”. Dalam ayat ini, Allah mensifatkannya dengan “dipegang” (serah terima), dan ar-rahn adalah transaksi penyerta yang butuh kepada penerimaan, sehingga membutuhkan serah-terima (al-qabdh) seperti utang. Juga karena hal itu adalah rahn (gadai) yang belum diserahterimakan, sehingga tidak diharuskan untuk menyerahkannya, sebagaimana bila yang menggadaikannya meninggal dunia.
Pendapat kedua, ar-rahn langsung terjadi setelah selesai transaksi. Dengan demikian, bila pihak yang menggadaikan menolak untuk menyerahkan barang gadainya, maka dia dipaksa untuk menyerahkannya. Ini pendapat Mazhab Malikiyah dan riwayat dalam Mazhab Hambaliyah.
Dasar pendapat ini adalah firman Allah مَّقْبُوضَةُُ فَرِهَانٌ “. Dalam ayat ini, Allah menetapkannya sebagai ar-rahn sebelum dipegang (serahterimakan). Selain itu, ar-rahn juga merupakan akad transaksi yang mengharuskan adanya serah-terima sehingga juga menjadi wajib sebelumnya seperti jual beli. Demikian juga menurut Imam Malik, serah terima hanyalah menjadi penyempurna ar-rahn dan bukan syarat sahnya.
Syekh Abdurrahman bin Hasan menyatakan, “Adapun firman Allah مَّقْبُوضَةُُ فَرِهَانٌ “. adalah sifat  keumumannya, namun kebutuhan menuntut (keharusannya) tidak dengan serah-terima (al-qabdh).
Prof. Dr. Abdullah ath-Thayyar menyatakan bahwa yang rajih adalah ar-rahn menjadi harus diserahterimakan melalui akad transaksi, karena hal itu dapat merealisasikan faidah ar-rahn, berupa pelunasan utang dengan barang gadai tersebut atau dengan nilainya ketika si peminjam tidak mampu melunasi utangnya. Ayat al-Quran pun hanya menjelaskan sifat mayoritas dan kebutuhan dalam transaksi yang menuntut adanya jaminan walaupun belum sempurna serah terimanya karena ada kemungkinan mendapatkannya.
B.     Keharusan Serah Terima dalam Ar Rahn
Ada beberapa ketentuan dalam gadai setelah terjadinya serah-terima yang berhubungan dengan pembiayaan (pemeliharaan), pertumbuhan barang gadai, pemanfaatan, serta jaminan pertanggungjawaban bila barang gadai rusak atau hilang, di antaranya:
1.      Pemegang barang gadai. Barang gadai tersebut berada ditangan murtahin selama masa perjanjian gadai tersebut, sebagaimana firman Allah:
وَإِن كُنتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانُُ مَّقْبُوضَةُُ
“Jika kamu berada dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedangkan kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).” (Qs. Al-Baqarah: 283)
Juga sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Binatang tunggangan boleh ditunggangi sebagai imbalan atas nafkahnya (makanannya) bila sedang digadaikan, dan susu binatang yang diperah boleh diminum sebagai imbalan atas makanannya bila sedang digadaikan. Orang yang menunggangi dan meminum susu berkewajiban untuk memberikan makanan.” (Hr. TIrmidzi; hadits shahih)
2.      Pembiayaan pemeliharaan dan pemanfaatan barang gadai. Pada asalnya barang, biaya pemeliharaan dan manfaat barang yang digadaikan adalah milik orang yang menggadaikan (rahin), dan murtahin tidak boleh mengambil manfaat barang gadaian tersebut kecuali bila barang tersebut berupa kendaraan atau hewan yang diambil air susunya, maka murtahin boleh menggunakan dan mengambil air susunya apabila ia memberikan nafkah (dalam pemeliharaan barang tersebut). Tentunya, pemanfaatannya sesuai dengan besarnya nafkah yang dikeluarkan dan memperhatikan keadilan. Hal ini di dasarkan pada sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Binatang tunggangan boleh ditunggangi sebagai imbalan atas nafkahnya (makanannya) bila sedang digadaikan, dan susu binatang yang diperah boleh diminum sebagai imbalan atas makanannya bila sedang digadaikan. Orang yang menunggangi dan meminum susu berkewajiban untuk memberikan makanan.” (Hr. TIrmidzi; hadits shahih)
Syekh al-Basam menyatakan, “Menurut kesepakatan ulama, biaya pemeliharaan barang gadai dibebankan kepada pemiliknya.”
Demikian juga, pertumbuhan dan keuntungan barang tersebut juga miliknya, kecuali dua pengecualian ini (yaitu kendaraan dan hewan yang memiliki air susu yang diperas, pen).
Penulis kitab al-Fiqh al-Muyassar menyatakan, “Manfaat dan pertumbuhan barang gadai adalah hak pihak penggadai, karena itu adalah miliknya. Orang lain tidak boleh mengambilnya tanpa seizinnya. Bila ia mengizinkan murtahin (pemberi utang) untuk mengambil manfaat barang gadainya tanpa imbalan dan utang gadainya dihasilkan dari peminjaman, maka yang demikian itu tidak boleh dilakukan, karena itu adalah peminjaman utang yang menghasilkan manfaat.
Adapun bila barang gadainya berupa kendaraan atau hewan yang memiliki susu perah, maka murtahin diperbolehkan untuk mengendarainya dan memeras susunya sesuai besarnya nafkah yang dia berikan kepada barang gadai tersebut, tanpa izin dari penggadai, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Binatang tunggangan boleh ditunggangi sebagai imbalan atas nafkahnya (makanannya) bila sedang digadaikan, dan susu binatang yang diperah boleh diminum sebagai imbalan atas makanannya bila sedang digadaikan. Orang yang menunggangi dan meminum susu berkewajiban untuk memberikan makanan.” (Hr. Al-Bukhari, no. 2512).
Ini adalah pendapat Mazhab Hanabilah. Adapun mayoritas ulama fikih dari Mazhab Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafi’iyah berpandangan tentang tidak bolehnya murtahin mengambil manfaat barang gadai, dan pemanfaatan hanyalah hak penggadai, dengan dalil sabda Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam:
لَهُ غُنْمُهُ وَعَلَيْهِ غَرَمُهُ
“Dia yang berhak memanfaatkannya dan wajib baginya menanggung biaya pemeliharaannya.” (Hr. Ad-Daruquthni dan al-Hakim)
Tidak ada ulama yang mengamalkan hadits pemanfaatan kendaraan dan hewan perah sesuai nafkahnya kecuali Ahmad, dan inilah pendapat yang rajih -insya Allah- karena dalil hadits shahih tersebut.
Ibnul Qayyim memberikan komentar atas hadits pemanfaatan kendaraan gadai dengan pernyataan, “Hadits ini serta kaidah dan ushul syariat menunjukkan bahwa hewan gadai dihormati karena hak Allah. Pemiliknya memiliki hak kepemilikan dan murtahin (yang memberikan utang) memiliki hak jaminan padanya.
Bila barang gadai tersebut berada di tangan murtahin lalu dia tidak ditunggangi dan tidak diperas susunya, maka tentu akan hilanglah kemanfaatannya secara sia-sia. Sehingga, berdasarkan tuntutan keadilan, analogi (qiyas), serta untuk kemaslahatan penggadai, pemegang barang gadai (murtahin), dan hewan tersebut, maka murtahin mengambil manfaat, yaitu mengendarai dan memeras susunya, serta dan menggantikan semua manfaat itu dengan cara menafkahi (hewan tersebut).
Bila murtahin menyempurnakan pemanfaatannya dan menggantinya dengan nafkah, maka dalam hal ini ada kompromi dua kemaslahatan dan dua hak.”
3.      Pertumbuhan barang gadai. Pertumbuhan atau pertambahan barang gadai setelah dia digadaikan, adakalanya bergabung dan adakalanya terpisah. Bila tergabung, seperti (bertambah) gemuk, maka ia termasuk dalam barang gadai, dengan kesepakatan ulama. Adapun bila dia terpisah, maka terjadi perbedaan pendapat ulama dalam hal ini.
Abu hanifah dan Imam Ahmad, serta yang menyepakatinya, berpandangan bahwa pertambahan atau pertumbuhan barang gadai yang terjadi setelah barang gadai berada di tangan murtahin akan diikut sertakan kepada barang gadai tersebut.
Sedangkan Imam Syafi’i dan Ibnu Hazm, serta yang menyepakatinya, berpandangan bahwa hal pertambahan atau pertumbuhan barang gadai tidak ikut serta bersama barang gadai, namun menjadi milik orang yang menggadaikannya. Hanya saja, Ibnu hazm berbeda pendapat dengan Syafi’i dalam hal kendaraan dan hewan menyusui, karena Ibnu Hazm berpendapat bahwa dalam kendaraan dan hewan yang menyusui, (pertambahan dan pertumbuhannya) menjadi milik orang yang menafkahinya.
4.      Perpindahan kepemilikan dan pelunasan utang dengan barang gadai. Barang gadai tidak berpindah kepemilikannya kepada murtahin apabila telah selesai masa perjanjiannya, kecuali dengan izin orang yang menggadaikannya (rahin) dan dia tidak mampu melunasi utangnya.
Pada zaman jahiliyah dahulu, apabila pembayaran utang telah jatuh tempo, sedangkan orang yang menggadaikan belum melunasi utangnya, maka pihak yang memberi pinjaman uang akan menyita barang gadai tersebut secara langsung tanpa izin orang yang menggadaikannya (si peminjam uang).
Kemudian, Islam membatalkan cara yang zalim ini dan menjelaskan bahwa barang gadai tersebut adalah amanat pemiliknya yang berada di tangan pihak yang memberi pinjaman. Karenanya, pihak pemberi pinjaman tidak boleh memaksa orang yang menggadaikan barang tersebut untuk menjualnya, kecuali si peminjam tidak mampu melunasi utangnya tersebut.
Adakalanya barang gadai itu berupa barang yang tidak dapat dipindahkan, seperti rumah dan tanah, sehingga serah terimanya disepakati dengan cara mengosongkannya untuk murtahin tanpa ada penghalangnya.
C.     Sahnya Serah Terima dalam Rahn
Ada kalanya pula, barang gadai itu berupa barang yang dapat dipindahkan. Bila berupa barang yang ditakar maka disepakati bahwa serah terimanya adalah dengan ditakar pada takaran. Adapun bila barang timbangan maka disepakati bahwa serah terimanya adalah dengan ditimbang, dihitung bila barangnya dapat dihitung, serta diukur bila barangnya berupa barang yang diukur.
Namun bila berupa tumpukan bahan makanan yang dijual secara tumpukan, maka terjadi perselisihan pendapat tantang cara serah terimanya: ada yang berpendapat bahwa serahterimanya adalah dengan cara memindahkannya dari tempat semula, dan ada yang menyatakan cukup dengan ditinggalkan pihak oleh yang menggadaikannya dan murtahin dapat mengambilnya.
7.  Jatuh Tempo
Kebiasaan masyarakat Arab pra-Islam, apabila yang menggadaikan barang tidak mampu megembalikan pinjaman, maka ia tidak berhak lagi atas barangnya dan barang tersebut menjadi hak pemegang gadai. Islam kemudian membatalkan dan melarang cara tersebut. Jika tempo telah jatuh, maka orang yang menggadaikan berkewajiban melunasi utangnya, apabila ia tidak mampu melunasinya dan ia tidak mengizinkan barangnya dijual untuk pelunasan, maka hakim berhak memaksanya untuk melunasi atau menjual barang yang dijadikan jaminan tersebut. Apabila hakim telah menjual barang tersebut dan kemudian ada kelebihan nilai atau harga barang, maka kelebihan menjadi milik pihak yang menggadaikan. Dan apabila masih kurang nilai harganya dengan utang, maka kreditor wajib melunasi sisa utangnya.
Muawiyah bin Abdullah bin Ja’far meriwayatkan bahwa seseorang telah menggadaikan sebuah rumah di Madinah untuk masa waktu tertentu. Setelah jatuh tempo, pihak debitor menyatakan rumah tersebut sebagai miliknya. Rasulullah kemudian bersabda, “Janganlah pemegang harta gadai menghalangi hak atas barang gadai tersebut dari peminjam yang menggadaikan. Peminjam berhak memperoleh bagiannya dan dia berkewajiban membayar dendanya”. (HR. Syafii, Atsram dan Daruquthni)
Dalam komentarnya, Daruquthni mengatakan bahwa sanadnya hasan muttashil (baik dan beruntun). Sedangkan Ibnu Hajar dalam kitab Bulughul Maram mengatakan, “Para perawi haditsnya tsiqat (terpercaya)”. Namun, keterangan lain dari Abu Dawud dan lainnya bahwa hadits tersebut adalah mursal (sanadnya rancu).
“Barang gadaian tidak menutup pemilik yang menggadaikannya, keuntungannya untuknya dan kerugiannya menjadi tanggungannya” .(HR. Daruquthni dan Hakam)
Apabila pada akad gadai ada persyaratan bahwa apabila jatuh tempo maka barang gadai akan dijual, maka syarat tersebut dibolehkan. Dan merupakan hak debitor untuk menjual barang jaminan tersebut. Imam Syafii berbeda pendapat akan hal tersebut dan berpandangan bahwa dengan syarat tersebut, akad gadai telah batal.
Abdul Ghafur Anshori menyimpulkan bahwa akad rahn berakhir dengan hal-hal sebagai berikut:
a.       Barang telah diserahkan kembali kepada pemiliknya.
b.      Rahin membayar hutangnya.
c.       Dijual dengan perintah hakim atas perintah rahin.
d.      Pembebasan hutang dengan cara apapun, meskipun tidak ada persetujuan dari pihak rahin.
Jika marhun mengalami kerusakan karena ketedoran murtahin, maka murtahin wajib mengganti marhun tesebut. Tapi jika tidak disebabkan murtahin maka murtahin tidak wajib mengganti dan piutangnya tetap menjadi tanggungan rahin. Jika rahin meninggal dunia atau pailit maka murtahin lebih berhak atas marhun daripada semua kreditur. Jika hasil penjualan marhun tidak mencukupi piutangnya, maka murtahin memiliki hak yang sama bersama para kreditur terhadap harta peninggalan rahin.
8  Hikmah Penysyariatan Ar-Rahn
Setiap orang berbeda-beda keadaannya, ada yang kaya dan ada yang miskin, sedangkan harta sangat dicintai setiap jiwa. Lalu terkadang pada waktu tertentu seseorang sangat membutuhkan uang untuk menutupi kebutuhan-kebutuhannya yang mendesak. Dan pada saat itu tidak mendapatkan orang yang bersedekah kepadanya atau yang meminjamkan uang kapadanya. Begitu juga tidak ada penjamin yang menjaminnya, sehingga ia mendatangi orang lain membeli barang yang dibutuhkannya dengan cara berhutang, atau meminjam dengan kesepakatan tertentu, yaitu memberikan jaminan gadai yang disimpan pada pihak pemberi hutang hingga ia melunasi hutangnya.
Oleh karena itu Allah mensyariatkan Ar-Rahn (gadai) untuk kemaslahatan orang yang menggadaikan (Rahin), pemberi hutang (Murtahin) dan masyarakat.
Untuk yang menggadaikan (Rahin), ia mendapatkan keuntungan sehingga dapat menutupi kebutuhannya. Sehingga dia bisa menyelamatkan dirinya dari krisis yang menimpanya, dan menghilangkan kegundahan di hatinya. Bahkan kadang ia bisa berdagang bermodal hutang tersebut, lalu menjadi sebab ia menjadi kaya.
Sedangkan pihak pemberi hutang (Murtahin), ia menjadi tenang dan merasa aman atas haknya dan mendapatkan keuntungan syar'i dan bila ia berniat baik maka mendapatkan pahala dari Allah.
Adapun kemaslahatan yang kembali kepada masyarakat, yaitu memperluas interaksi perdagangan dan saling memberikan kecintaandan dam kasih sayang diantara manusia, karena peminjaman dengan Ar-Rahn ini termasuk kategori tolong meniolong dalam kebaikan dan takwa. Disana terdapat manfaat yang menjadi solusi dalam krisis, memperkecil permusuhan dan melapangkan penguasa.


























  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar